Suara lonceng di ambang pintu itu selalu menjadi melodi yang menyisir
semangatku. Saat pertama kali ku buka pintu itu, gemercik lonceng nan
manis itu menyapaku dengan lembut. Seperti ucapan ‘selamat pagi!’ yang
diucapkan pacar.
Tapi tunggu dulu. Pacar? Hahaha… Aku kan gak punya
pacar. Lagi pula hanya sebatas perandaian, kan? Hari ini hari selasa. Di
balik meja kasir ini tempatku berlabuh, menunggu barang-barang belian
pelanggan untuk ditukar dengan pundi-pundi uang. Aku lalu mengecek satu
per satu barang belian itu di depan monitor canggih pengecek harga dan
memasukkannya ke dalam kantung belanjaan. Di saat itu aku menerima uang
dari pembeli dan memasukkannya ke dalam mesin kasir. Begitu seterusnya
setiap hari. Kecuali hari libur.
Orang-orang memanggilku love. Aku sih gak keberatan meski namaku
sebenernya Kecilia Tan. Mungkin karena aku selalu identik dengan simbol
hati. Di baju. Di rok. Aksesoris. Selalu ada simbol cinta itu. Maka tak
ayal, aku dipanggil love.
Meski terdengar menggelikan. Tapi aku suka.
Imut dan lucu aja kesannya. Supermarket ini adalah supermarket milik
mendiang ayahku. Dia sangat suka berjualan sehingga dia membangun
supermarket ini dengan murni hasil kerja kerasnya. Sampai di akhir
hayatnya, dia menitipkan supermarket ini padaku. Awalnya aku kesal.
Kenapa harus aku tapi lambat laun aku menerimanya. Lagi pula ini gak
buruk buruk amat. Harusnya aku bangga. Ayahku mau mempercayai aku untuk
menjaga asetnya ini.
“Uhh… Kok sepi ya! Tumben. Apa karena cuaca panas?” keluhku di balik
meja kasir sambil memainkan komputer. Sampai tanpa tersadar mataku
tertutup karena mengantuk.
Kring! Suara lonceng itu membangunkan kantukku. Ku lihat lihat,
sepertinya ada pelanggan. Tapi aku tak sempat lihat. Karena di samping
kiriku terdapat cctv aku cek ke sana saja. Klik. Aku perbesar layar cctv
yang menyorot ke area orang itu. Ku perhatikan orang itu ternyata
laki-laki. Dia kelihatan cape sekali, sehingga aku lihat dia tengah
meneguk minuman soda dengan cepatnya. Mungkin karena cuaca yang panas.
Tiba-tiba laki-laki itu mendekati kasir. “Berapa?” tanya laki-laki itu.
“$2,” jawabku singkat. Laki-laki itu pun memberikan uangnya beserta botol soda itu. Lalu pergi perlahan dari dalam supermarketku. Lonceng itu kembali bersuara. Terdengar lembut sekali. Kok berbeda seperti biasanya ya. Apa karena laki-laki itu yang mendorong pintunya. Ah. Mungkin cuma perasaanku saja.
“Laki-laki itu. Tinggi agak berewok dikit. Matanya..” aku langsung
menghentikan lamunanku kala ku ingat mata laki-laki itu. Ada sensasi
aneh menjalar hebat dari otak ke jantungku. Aku hanya tersenyum senyum
sendiri. Kenapa sih aku jadi merasakan hal seperti ini? Laki-laki itu.
Dia orang baru di kota ini. Aku baru melihatnya. Dia seperti orang
pindahan dari kota seberang. “Kira-kira dia siapa ya? Tinggal mana? Ih…
Aku kok jadi aneh sih. Kenapa aku jadi mikirin dia,” gumamku di dalam
lubuk hati. Tanganku mengetuk-ngetuk ke kepala. Ku geleng-gelengkan
kepalaku. Sungguh aku aneh seperti orang gila saja.
Malam hari yang masih terasa panas. Ku buka jendela kamar karena hawa
panasnya kian menjadi. Musim panas memang begini. Kadang menyusahkan
dengan ‘kepanasannya’. Ku sambar ponsel di hadapanku. Lalu seperti
biasa, aku jelajahi dunia maya sebagai pembungkam rasa bosan dan pelebur
hawa panas. Semula ku lihat-lihat daftar teman facebookku yang aktif.
Kemudian aku cek daftar orang yang mungkin dikenal.
“Eh?” tanpa sadar aku bersuara. Perhatianku tertuju pada sebuah akun
bernama ‘Thomas Cheng-kai’. Ku lihat saja profil-nya lalu koleksi
foto-fotonya. Wah.. Ternyata benar dugaanku. Akun ini milik laki-laki
yang tadi ke supermarket. Tak salah lagi. Wajahnya yang agak berewok
langsung aku kenali. Dan matanya, aku tahu dialah laki-laki itu. Segera
aku ‘add’ dan tinggal menunggu konfirmasi pertemanan. Saat ku lihat
profilnya hanya tertera tanggal lahirnya saja yang tanpa tahun. Dan
koleksi fotonya hanya 5 saja. Sepertinya dia memprivate akunnya,
sehingga hanya sebagian saja yang terdeteksi.
Semenjak melihat laki-laki bernama Thomas Cheng-kai itu meminum air
soda. Aku jadi senang meminumnya. Sambil membayangkan wajah Thomas yang
kalem dan matanya yang meneduhkan. Aku jadi dapat ide. Jika Thomas
datang lagi ke sini dan membeli soda lagi maka aku akan memberinya
gratis satu. Dan hanya memperbolehkannya minum di sini.
Supaya aku bisa
melihat wajah tenangnya meneguk air soda yang terlihat suci itu. Pasti
rasanya mendebarkan. Seperti menyaksikan ketampanan seorang pangeran
dari negeri dongeng. Aduh.. Aku jadi nggak sabar. Sambil meminum air
soda aku mengotak-atik komputerku. Melihat wajah Thomas yang menenangkan
di facebook. “Aku harus berani. Tanyakan namanya, alamatnya. Kenalan
dulu deh kayaknya baru nanya nanya. Aduuuh… Tuhan!” aku jadi gugup
sendiri. Padahal belum tentu Thomas bakal ke sini lagi. Hmm… Ya sudah
aku teguk lagi deh air soda nya. Sambil menunggu sosok Thomas.
Glek!
Glek!
Huhh… Segarnya.
Glek!
Huhh… Segarnya.
Kring! Seseorang masuk ke dalam dengan langkah cepat tapi terlihat
santai. Cepat-cepat ku sorot layar cctv ke arah orang itu. Ku pandangi
terus seolah hanya di situ ada sesuatu yang berkilauan. Lelaki bernama
Thomas itu pun meneguk dengan santai minuman soda yang ia genggam dalam
sebuah botol kaca. Uhh. Ku pejamkan mata ini. Merasakan kesejukan yang
mungkin dirasakan Thomas.
“Ehem!” tiba-tiba mataku terbuka. Dan sosok Thomas sudah berdiri di
hadapanku dengan raut muka kebingungan. Kembali wajahnya itu membuatku
tersentuh semakin dalam.
“Eh? Maaf. Oh iya. Selamat! Kamu dapat gratis satu botol soda lagi. Tapi minumnya di sini ya. Hehe..” ucapku sambil memberikan sebotol soda padanya.
“Eh? Maaf. Oh iya. Selamat! Kamu dapat gratis satu botol soda lagi. Tapi minumnya di sini ya. Hehe..” ucapku sambil memberikan sebotol soda padanya.
Untuk pertama kalinya, aku menyaksikan senyumnya yang lembut
dan manis. Astaga. Sepertinya aku telah menyaksikan sinar aurora di
siang bolong.
“Ini! Dua dolar kan?” dia lalu menyerahkan botol soda gratis itu dengan keadaan kosong. Dan juga uang dua dolar.
“Ini! Dua dolar kan?” dia lalu menyerahkan botol soda gratis itu dengan keadaan kosong. Dan juga uang dua dolar.
“Makasih. Emm… Ngomong-ngomong, namamu Thomas Cheng-kai kan?” ucapku memberanikan diri.
“Em… Namaku memang Thomas tapi Cheng-kai itu cuma nama ayahku. Kenalkan aku Thomas Choo,” ujarnya membuatku tak menyangka dia akan memperkenalkan dirinya.
“Em… Namaku memang Thomas tapi Cheng-kai itu cuma nama ayahku. Kenalkan aku Thomas Choo,” ujarnya membuatku tak menyangka dia akan memperkenalkan dirinya.
Padahal pada awalnya, aku menyangka dia adalah lelaki yang arogan tapi ternyata tidak sama sekali.
“Oh… Namaku Kecilia Tan. Maaf ya aku gak tahu,” kataku sedikit malu. Dia lalu tersenyum sebelum berkata-kata.
“Gak apa-apa. Cheng-kai adalah nama belakang ayahku. Kau pasti tahu
lewat facebook kan?” tanyanya kembali membuatku terkejut. “Ah… Benar.
Makasih ya sudah menerima pertemananku. Senang kenal denganmu,” ucapku
sedikit menyisir rasa malu. Dia kembali memamerkan senyumnya yang
meneduhkan. Dalam hati aku bergumam. “Sudah dong!
Aku gak kuat kalau
harus terus lihat senyum kamu. Aku nyerah.” Dia pun meminta nomor
ponselku. Terlihat sedikit malu-malu darinya. Tapi anehnya. Hal itu
justru membuatku lucu sendiri. “Oke, aku save. Makasih ya! Aku pergi
dulu. Sampai jumpa!” ujarnya lalu pergi ke luar dari supermarketku. Tak
lupa ia memberiku senyumnya yang menawan. Aku heran. Apa dia titisan
lebah madu. Senyumnya itu kok terasa bagaikan madu. Hahaha…
Semenjak itu. Aku dan Thomas kian dekat. Setiap kali dia mampir ke
supermarket untuk membeli soda. Aku selalu memberinya gratis. Alasannya
sih beragam. Dia memang lelaki yang baik dan lembut. Di balik gaya dan
auranya yang arogan.
“Tunggu! Aku heran. Kenapa kau terus terusan memberiku satu botol
soda gratis?” tanyanya saat aku memberinya sebotol soda gratis.
“Ah… Itu… Anu… Terima saja. Kau tahu kan, kau itu selalu membeli soda di sini. Makanya aku memberikan ini gratis sebagai hadiah,” dustaku tanpa memandang wajahnya. Alasannya karena aku takut menatap wajah kalemnya. Bagaimana kalau aku membeku. Aduh. Benar-benar tersiksa.
“Apa harus setiap saat aku membeli? Ayo jujur saja. Ada apa? Jangan-jangan kau meracuniku ya?” ucapnya membuatku refleks menatap wajahnya.
“Hey… Mana mungkin aku berbuat begitu. Untuk apa memangnya? Aku bukan psikopat. Aku cuma… Cuma..” seruku lalu tersendat-sendat.
“Ayo cuma apa? Hah?” desaknya dengan sorot mata yang dalam.
“Mati aku!” gumamku dalam hati.
“Aku, aku cuma. Janji ya jangan marah!” sahutku sambil menunduk.
“Oke baik, baik. Apa?” jawabnya tampak penasaran.
“Aku cuma, ingin melihatmu lebih lama lagi, saat kau minum soda itu,” jelasku pelan. Dia sedikit mendongakkan wajahnya ke arahku.
“Hahahahaha,” dia tertawa lepas.
“Mati aku!” gumamku dalam hati.
“Aku, aku cuma. Janji ya jangan marah!” sahutku sambil menunduk.
“Oke baik, baik. Apa?” jawabnya tampak penasaran.
“Aku cuma, ingin melihatmu lebih lama lagi, saat kau minum soda itu,” jelasku pelan. Dia sedikit mendongakkan wajahnya ke arahku.
“Hahahahaha,” dia tertawa lepas.
“Kenapa ketawa?” tanyaku heran. Gigi-giginya yang rapi dan putih
terlihat berkilau. Satu lagi kebetulan yang pertama kali ku lihat
darinya.
“Oh begitu. Haha. Memangnya aku menggoda ya?” tanyanya membuatku terbungkam. Bahaya. Jika aku berkata jujur dia pasti membuatku tersudut. Jika aku bohong, aku pasti kehilangkan momen yang berharga ini. Ahh.. Benar-benar membingungkan.
“Aa…A… Apa sih. Hehe..”
“Hmm… Haha. Aku cuma bercanda kok. Jadi bagaimana? Ini jadi gratis kan?” tanyanya.
“Iya. Tentu. Silakan minum. Gratis,” jawabku dengan ekspresi kecut.
“Aku akan minum ini untukmu!” ucapnya. Lalu ia pun meneguk soda itu
dengan cepat. Dia berkata ‘untukmu alias untukku’? Apa ini sungguhan? Oh
air soda yang memang terlihat suci itu sepertinya sedang
mempermainkanku. “Ini! Dan ini dua dolar. Aku pergi dulu, bye!” ucapnya
lalu menyerahkan botol kosong dan uang sebelum akhirnya pergi. Tensi
darahku sepertinya mulai naik. Aku pun mengambil sebotol soda dingin dan
meminumnya dengan tatapan yang entah ke mana arahnya.
Malam pukul 7.40. Thomas tiba-tiba datang ke rumahku. Dengan membawa
dua kaleng soda. Dia mengajakku berjalan-jalan ke dekat danau. Dengan
setengah keraguan aku pun menyetujui dan jalan bersamanya. Di tengah
cahaya kemerlap lampu-lampu jalan, kami duduk di pinggir danau yang
berumput ditemani soda yang sejuk. Pekatnya malam seakan melengkapi
kebersamaan ini. Dia sedikit aneh. Tingkahnya agak perhatian padaku.
Yang jelas, malam itu dia seperti Thomas sisi b denganku. Lucu.
“Terima kasih!” ucapku sambil tersenyum, lalu memasukkan uang ke
dalam mesin kasir. Hari ini lumayan sibuk. Pelanggan datang silih
berganti. Mungkin stok makanan di rumah mereka mulai menipis. Makanya
hari ini mereka banyak berbelanja di supermarketku.
Cuaca yang panas
ditambah kesibukan yang menguras tenaga membuat suhu tubuhku meningkat.
Aku minum saja sebotol soda yang dingin. Wah.. Memang manjur. Tiba-tiba
aku jadi teringat semalam. Thomas semalam sangat beda. Tutur katanya,
sikapnya. Aku rasa ada suatu hal yang ingin dia ungkapkan padaku. Tapi
dia seperti menahannya. Kira-kira apa ya? Apa jangan-jangan dia suka
lagi sama aku. Ah masa iya dia suka padaku.
“Hey! Melamun saja!” bentak Thomas di hadapanku.
“Loh, kok. Kamu sejak kapan di sini?” tanyaku heran karena dia tiba-tiba sudah ada di depanku.
“Haha… Dari tadi kok. Kau ini kerjaannya melamun saja. Sampai kau tidak sadar aku dari tadi sudah ke sini. Ini seperti biasa!” dia lalu memberikan botol kosong dan uang.
“Loh, kok. Kamu sejak kapan di sini?” tanyaku heran karena dia tiba-tiba sudah ada di depanku.
“Haha… Dari tadi kok. Kau ini kerjaannya melamun saja. Sampai kau tidak sadar aku dari tadi sudah ke sini. Ini seperti biasa!” dia lalu memberikan botol kosong dan uang.
“Hey, kamu mau soda gratis?” sambungnya menawarkan.
“Soda gratis?” tanyaku berlagak bodoh.
“Iya. Haha… Seperti semalam. Bagaimana?” dia memberikan ekspresi yang menggoda. Jujur aku jadi salah tingkah.
“Ah… Itu ya. Baiklah, oke. Hehe,” ucapku kelimpungan. Wajahku sedikit memerah. Thomas tertawa geli. Untuk pertama kalinya dia tertawa begitu, menertawai tingkahku yang konyol.
Udara malam kali ini entah kenapa terasa hangat. Meski soda yang ku
minum terasa dingin. Apa mungkin karena keberadaan Thomas. Sikap
hangatnya yang membuat suasana jadi terasa ‘warm’. “Sebenarnya, apa sih
maksudmu saat kau memberiku soda soda gratis?” tanya Thomas di sela sela
keheningan. Suaranya terdengar menggema di telingaku.
“Ah…Eh…Anu…Ah..”
“Haha… Sejujurnya aku sudah tahu maksudmu,” ucapnya membuatku terpaksa menaikkan kedua alisku.
“Benarkah?”
“Aku tahu, kau suka kan padaku?” jleb. Tiba-tiba dia menusuk hatiku dengan pernyataannya. Alamak. Bagaimana ini? Dasar bodoh. Kenapa dia selalu membuatku skak mat seperti ini sih. Ah.. Menyebalkan.
“Huuh… Dasar geer. Kau terlalu percaya diri,” sanggahku mencoba menutupi rasa gelisah.
“Sudahlah. Aku tahu karena kau punya alasan kan. Alasan itu bernama ‘suka’,” dia berkata dengan mantapnya. Jikalau ini adalah peperangan. Maka aku sudah mengibarkan bendera putih pertanda menyerah. “Sudah ah aku mau pulang saja,” ujarku sambil berdiri. Ketika melangkahkan kaki, Thomas memelukku dari belakang. Suasana hangat ini kian bertambah hangat. Malahan terasa bagai bara api yang kian berkobar.
“Aku suka padamu!” bisiknya terdengar geli di telinga.
“Lepasin!” aku mencoba melepaskan pelukannya. Ku lihat raut wajahnya. Dia sepertinya malu atas tindakannya demikian yang sudah memelukku.
“Maaf! Aduh… Aku benar-benar lancang,” ujarnya sambil menggaruk-garuk lehernya.
“Hahahaha,” aku tertawa dengan lepasnya. Rasa geli ini akhirnya keluar juga. Tentunya Thomas merasa sangat keheranan. Terlihat dari wajahnya yang konyol.
“Aduh aduh! Sakit perutku. Maaf ya!” jelasku sambil mengusap air mata.
“Kenapa kau tertawa? Aku jadi takut,”
“Aku cuma geli melihat ekspresimu. Thomas… Kau benar. Aku menyukaimu,” seperti dipukul sebuah palu keberanian. Mulutku dengan lancar berkata begitu.
“Aku cuma geli melihat ekspresimu. Thomas… Kau benar. Aku menyukaimu,” seperti dipukul sebuah palu keberanian. Mulutku dengan lancar berkata begitu.
“Air soda gratis itu. Semua memang alasan supaya aku bisa melihatmu lebih jelas. Tapi sekarang aku sudah bisa melihatmu dengan jelas. Bahkan lebih jelas lagi,” lanjutku dengan nada sedikit teredam.
“Benar kan dugaanku. Hehe. Sekarang aku di sini. Hey! Tataplah mataku, dengar baik-baik. Aku menyukaimu,” dia mengangkat daguku dan mengarahkan pandanganku padanya.
“Apa kau mau menerimaku? Hah?” bisiknya.
“Gimana ya, aku… Aku..” jujur saja saat ini aku seperti disiram air yang suhunya beragam.
Apa ini mimpi. Di sela-sela ini, aku mencubit perutku sendiri. Sakit! Ternyata ini nyata.
“I..Iya aku mau!” ucapku agak menyeringai karena tak tahan menahan gejolak ini. Dia tersenyum lebar lalu memelukku erat. Erat sekali. Jantungnya terdengar kencang sekali berdetak-detak. Lucu. Tapi aku terlalu kikuk. Hanya lewat soda soda gratis itu, perasaanku kepadanya selama ini ku sampaikan. Dan hari ini tepatnya malam yang berbintang ini perasaanku terbalaskan.
Soda-soda itu. Semuanya telah mempresentasikan perasaanku padanya.
Rasa dinginnya mampu menyejukkan relung hati. Bunyi airnya yang
menyeringai merdu. Rasanya yang mengejutkan lidah. Apa ini yang disebut
kesucian air soda? Terutama saat aku jatuh cinta dan terbuai di
dalamnya. Bagai menyelaminya saja. Terasa mengapung bebas bersama
sosoknya. Iya.. dia, Thomas choo. Lelaki yang gemar sekali membeli soda
di supermarketku. Sampai akhirnya dia menyentuh ruang kecil di hatiku.
Perlahan membukakan pintunya dan mengatakan ‘ selamat pagi! ‘. Lalu
lonceng kecil bersuara dengan imutnya.
“Cheers!”
“Hehe. Cheers!” kami pun saling bersulang botol yang berisi air soda. Lalu meminumnya dengan penuh perasaan cinta. Sejuk. Manis. Rasa ini semoga dapat terjaga. Duhai air soda.
Cerpen Karangan: Fauzi Maulana
Facebook: Fauzi We Lah
Facebook: Fauzi We Lah