Thursday, September 22, 2016

Presentasi Air Soda

Suara lonceng di ambang pintu itu selalu menjadi melodi yang menyisir semangatku. Saat pertama kali ku buka pintu itu, gemercik lonceng nan manis itu menyapaku dengan lembut. Seperti ucapan ‘selamat pagi!’ yang diucapkan pacar. 

Tapi tunggu dulu. Pacar? Hahaha… Aku kan gak punya pacar. Lagi pula hanya sebatas perandaian, kan? Hari ini hari selasa. Di balik meja kasir ini tempatku berlabuh, menunggu barang-barang belian pelanggan untuk ditukar dengan pundi-pundi uang. Aku lalu mengecek satu per satu barang belian itu di depan monitor canggih pengecek harga dan memasukkannya ke dalam kantung belanjaan. Di saat itu aku menerima uang dari pembeli dan memasukkannya ke dalam mesin kasir. Begitu seterusnya setiap hari. Kecuali hari libur.
 
Orang-orang memanggilku love. Aku sih gak keberatan meski namaku sebenernya Kecilia Tan. Mungkin karena aku selalu identik dengan simbol hati. Di baju. Di rok. Aksesoris. Selalu ada simbol cinta itu. Maka tak ayal, aku dipanggil love.

 Meski terdengar menggelikan. Tapi aku suka. Imut dan lucu aja kesannya. Supermarket ini adalah supermarket milik mendiang ayahku. Dia sangat suka berjualan sehingga dia membangun supermarket ini dengan murni hasil kerja kerasnya. Sampai di akhir hayatnya, dia menitipkan supermarket ini padaku. Awalnya aku kesal. Kenapa harus aku tapi lambat laun aku menerimanya. Lagi pula ini gak buruk buruk amat. Harusnya aku bangga. Ayahku mau mempercayai aku untuk menjaga asetnya ini.

“Uhh… Kok sepi ya! Tumben. Apa karena cuaca panas?” keluhku di balik meja kasir sambil memainkan komputer. Sampai tanpa tersadar mataku tertutup karena mengantuk.
Kring! Suara lonceng itu membangunkan kantukku. Ku lihat lihat, sepertinya ada pelanggan. Tapi aku tak sempat lihat. Karena di samping kiriku terdapat cctv aku cek ke sana saja. Klik. Aku perbesar layar cctv yang menyorot ke area orang itu. Ku perhatikan orang itu ternyata laki-laki. Dia kelihatan cape sekali, sehingga aku lihat dia tengah meneguk minuman soda dengan cepatnya. Mungkin karena cuaca yang panas. Tiba-tiba laki-laki itu mendekati kasir. “Berapa?” tanya laki-laki itu.

“$2,” jawabku singkat. Laki-laki itu pun memberikan uangnya beserta botol soda itu. Lalu pergi perlahan dari dalam supermarketku. Lonceng itu kembali bersuara. Terdengar lembut sekali. Kok berbeda seperti biasanya ya. Apa karena laki-laki itu yang mendorong pintunya. Ah. Mungkin cuma perasaanku saja.

“Laki-laki itu. Tinggi agak berewok dikit. Matanya..” aku langsung menghentikan lamunanku kala ku ingat mata laki-laki itu. Ada sensasi aneh menjalar hebat dari otak ke jantungku. Aku hanya tersenyum senyum sendiri. Kenapa sih aku jadi merasakan hal seperti ini? Laki-laki itu. Dia orang baru di kota ini. Aku baru melihatnya. Dia seperti orang pindahan dari kota seberang. “Kira-kira dia siapa ya? Tinggal mana? Ih… Aku kok jadi aneh sih. Kenapa aku jadi mikirin dia,” gumamku di dalam lubuk hati. Tanganku mengetuk-ngetuk ke kepala. Ku geleng-gelengkan kepalaku. Sungguh aku aneh seperti orang gila saja.

Malam hari yang masih terasa panas. Ku buka jendela kamar karena hawa panasnya kian menjadi. Musim panas memang begini. Kadang menyusahkan dengan ‘kepanasannya’. Ku sambar ponsel di hadapanku. Lalu seperti biasa, aku jelajahi dunia maya sebagai pembungkam rasa bosan dan pelebur hawa panas. Semula ku lihat-lihat daftar teman facebookku yang aktif. Kemudian aku cek daftar orang yang mungkin dikenal.

“Eh?” tanpa sadar aku bersuara. Perhatianku tertuju pada sebuah akun bernama ‘Thomas Cheng-kai’. Ku lihat saja profil-nya lalu koleksi foto-fotonya. Wah.. Ternyata benar dugaanku. Akun ini milik laki-laki yang tadi ke supermarket. Tak salah lagi. Wajahnya yang agak berewok langsung aku kenali. Dan matanya, aku tahu dialah laki-laki itu. Segera aku ‘add’ dan tinggal menunggu konfirmasi pertemanan. Saat ku lihat profilnya hanya tertera tanggal lahirnya saja yang tanpa tahun. Dan koleksi fotonya hanya 5 saja. Sepertinya dia memprivate akunnya, sehingga hanya sebagian saja yang terdeteksi.

Semenjak melihat laki-laki bernama Thomas Cheng-kai itu meminum air soda. Aku jadi senang meminumnya. Sambil membayangkan wajah Thomas yang kalem dan matanya yang meneduhkan. Aku jadi dapat ide. Jika Thomas datang lagi ke sini dan membeli soda lagi maka aku akan memberinya gratis satu. Dan hanya memperbolehkannya minum di sini. 

Supaya aku bisa melihat wajah tenangnya meneguk air soda yang terlihat suci itu. Pasti rasanya mendebarkan. Seperti menyaksikan ketampanan seorang pangeran dari negeri dongeng. Aduh.. Aku jadi nggak sabar. Sambil meminum air soda aku mengotak-atik komputerku. Melihat wajah Thomas yang menenangkan di facebook. “Aku harus berani. Tanyakan namanya, alamatnya. Kenalan dulu deh kayaknya baru nanya nanya. Aduuuh… Tuhan!” aku jadi gugup sendiri. Padahal belum tentu Thomas bakal ke sini lagi. Hmm… Ya sudah aku teguk lagi deh air soda nya. Sambil menunggu sosok Thomas.

Glek!
Glek!
Huhh… Segarnya.

Kring! Seseorang masuk ke dalam dengan langkah cepat tapi terlihat santai. Cepat-cepat ku sorot layar cctv ke arah orang itu. Ku pandangi terus seolah hanya di situ ada sesuatu yang berkilauan. Lelaki bernama Thomas itu pun meneguk dengan santai minuman soda yang ia genggam dalam sebuah botol kaca. Uhh. Ku pejamkan mata ini. Merasakan kesejukan yang mungkin dirasakan Thomas.

“Ehem!” tiba-tiba mataku terbuka. Dan sosok Thomas sudah berdiri di hadapanku dengan raut muka kebingungan. Kembali wajahnya itu membuatku tersentuh semakin dalam.
“Eh? Maaf. Oh iya. Selamat! Kamu dapat gratis satu botol soda lagi. Tapi minumnya di sini ya. Hehe..” ucapku sambil memberikan sebotol soda padanya. 

Untuk pertama kalinya, aku menyaksikan senyumnya yang lembut dan manis. Astaga. Sepertinya aku telah menyaksikan sinar aurora di siang bolong.
“Ini! Dua dolar kan?” dia lalu menyerahkan botol soda gratis itu dengan keadaan kosong. Dan juga uang dua dolar.

“Makasih. Emm… Ngomong-ngomong, namamu Thomas Cheng-kai kan?” ucapku memberanikan diri.
“Em… Namaku memang Thomas tapi Cheng-kai itu cuma nama ayahku. Kenalkan aku Thomas Choo,” ujarnya membuatku tak menyangka dia akan memperkenalkan dirinya.

Padahal pada awalnya, aku menyangka dia adalah lelaki yang arogan tapi ternyata tidak sama sekali.
“Oh… Namaku Kecilia Tan. Maaf ya aku gak tahu,” kataku sedikit malu. Dia lalu tersenyum sebelum berkata-kata.

“Gak apa-apa. Cheng-kai adalah nama belakang ayahku. Kau pasti tahu lewat facebook kan?” tanyanya kembali membuatku terkejut. “Ah… Benar. Makasih ya sudah menerima pertemananku. Senang kenal denganmu,” ucapku sedikit menyisir rasa malu. Dia kembali memamerkan senyumnya yang meneduhkan. Dalam hati aku bergumam. “Sudah dong! 

Aku gak kuat kalau harus terus lihat senyum kamu. Aku nyerah.” Dia pun meminta nomor ponselku. Terlihat sedikit malu-malu darinya. Tapi anehnya. Hal itu justru membuatku lucu sendiri. “Oke, aku save. Makasih ya! Aku pergi dulu. Sampai jumpa!” ujarnya lalu pergi ke luar dari supermarketku. Tak lupa ia memberiku senyumnya yang menawan. Aku heran. Apa dia titisan lebah madu. Senyumnya itu kok terasa bagaikan madu. Hahaha…

Semenjak itu. Aku dan Thomas kian dekat. Setiap kali dia mampir ke supermarket untuk membeli soda. Aku selalu memberinya gratis. Alasannya sih beragam. Dia memang lelaki yang baik dan lembut. Di balik gaya dan auranya yang arogan.

“Tunggu! Aku heran. Kenapa kau terus terusan memberiku satu botol soda gratis?” tanyanya saat aku memberinya sebotol soda gratis.

“Ah… Itu… Anu… Terima saja. Kau tahu kan, kau itu selalu membeli soda di sini. Makanya aku memberikan ini gratis sebagai hadiah,” dustaku tanpa memandang wajahnya. Alasannya karena aku takut menatap wajah kalemnya. Bagaimana kalau aku membeku. Aduh. Benar-benar tersiksa.
“Apa harus setiap saat aku membeli? Ayo jujur saja. Ada apa? Jangan-jangan kau meracuniku ya?” ucapnya membuatku refleks menatap wajahnya.

“Hey… Mana mungkin aku berbuat begitu. Untuk apa memangnya? Aku bukan psikopat. Aku cuma… Cuma..” seruku lalu tersendat-sendat.
“Ayo cuma apa? Hah?” desaknya dengan sorot mata yang dalam.
“Mati aku!” gumamku dalam hati.
“Aku, aku cuma. Janji ya jangan marah!” sahutku sambil menunduk.
“Oke baik, baik. Apa?” jawabnya tampak penasaran.
“Aku cuma, ingin melihatmu lebih lama lagi, saat kau minum soda itu,” jelasku pelan. Dia sedikit mendongakkan wajahnya ke arahku.
“Hahahahaha,” dia tertawa lepas.

“Kenapa ketawa?” tanyaku heran. Gigi-giginya yang rapi dan putih terlihat berkilau. Satu lagi kebetulan yang pertama kali ku lihat darinya.

“Oh begitu. Haha. Memangnya aku menggoda ya?” tanyanya membuatku terbungkam. Bahaya. Jika aku berkata jujur dia pasti membuatku tersudut. Jika aku bohong, aku pasti kehilangkan momen yang berharga ini. Ahh.. Benar-benar membingungkan.
“Aa…A… Apa sih. Hehe..”

“Hmm… Haha. Aku cuma bercanda kok. Jadi bagaimana? Ini jadi gratis kan?” tanyanya.
“Iya. Tentu. Silakan minum. Gratis,” jawabku dengan ekspresi kecut.
“Aku akan minum ini untukmu!” ucapnya. Lalu ia pun meneguk soda itu dengan cepat. Dia berkata ‘untukmu alias untukku’? Apa ini sungguhan? Oh air soda yang memang terlihat suci itu sepertinya sedang mempermainkanku. “Ini! Dan ini dua dolar. Aku pergi dulu, bye!” ucapnya lalu menyerahkan botol kosong dan uang sebelum akhirnya pergi. Tensi darahku sepertinya mulai naik. Aku pun mengambil sebotol soda dingin dan meminumnya dengan tatapan yang entah ke mana arahnya.

Malam pukul 7.40. Thomas tiba-tiba datang ke rumahku. Dengan membawa dua kaleng soda. Dia mengajakku berjalan-jalan ke dekat danau. Dengan setengah keraguan aku pun menyetujui dan jalan bersamanya. Di tengah cahaya kemerlap lampu-lampu jalan, kami duduk di pinggir danau yang berumput ditemani soda yang sejuk. Pekatnya malam seakan melengkapi kebersamaan ini. Dia sedikit aneh. Tingkahnya agak perhatian padaku. Yang jelas, malam itu dia seperti Thomas sisi b denganku. Lucu.

“Terima kasih!” ucapku sambil tersenyum, lalu memasukkan uang ke dalam mesin kasir. Hari ini lumayan sibuk. Pelanggan datang silih berganti. Mungkin stok makanan di rumah mereka mulai menipis. Makanya hari ini mereka banyak berbelanja di supermarketku.

Cuaca yang panas ditambah kesibukan yang menguras tenaga membuat suhu tubuhku meningkat. Aku minum saja sebotol soda yang dingin. Wah.. Memang manjur. Tiba-tiba aku jadi teringat semalam. Thomas semalam sangat beda. Tutur katanya, sikapnya. Aku rasa ada suatu hal yang ingin dia ungkapkan padaku. Tapi dia seperti menahannya. Kira-kira apa ya? Apa jangan-jangan dia suka lagi sama aku. Ah masa iya dia suka padaku.

“Hey! Melamun saja!” bentak Thomas di hadapanku.
“Loh, kok. Kamu sejak kapan di sini?” tanyaku heran karena dia tiba-tiba sudah ada di depanku.
“Haha… Dari tadi kok. Kau ini kerjaannya melamun saja. Sampai kau tidak sadar aku dari tadi sudah ke sini. Ini seperti biasa!” dia lalu memberikan botol kosong dan uang.

“Hey, kamu mau soda gratis?” sambungnya menawarkan.
“Soda gratis?” tanyaku berlagak bodoh.
“Iya. Haha… Seperti semalam. Bagaimana?” dia memberikan ekspresi yang menggoda. Jujur aku jadi salah tingkah.

“Ah… Itu ya. Baiklah, oke. Hehe,” ucapku kelimpungan. Wajahku sedikit memerah. Thomas tertawa geli. Untuk pertama kalinya dia tertawa begitu, menertawai tingkahku yang konyol.
Udara malam kali ini entah kenapa terasa hangat. Meski soda yang ku minum terasa dingin. Apa mungkin karena keberadaan Thomas. Sikap hangatnya yang membuat suasana jadi terasa ‘warm’. “Sebenarnya, apa sih maksudmu saat kau memberiku soda soda gratis?” tanya Thomas di sela sela keheningan. Suaranya terdengar menggema di telingaku.

“Ah…Eh…Anu…Ah..”
“Haha… Sejujurnya aku sudah tahu maksudmu,” ucapnya membuatku terpaksa menaikkan kedua alisku.
“Benarkah?”
“Aku tahu, kau suka kan padaku?” jleb. Tiba-tiba dia menusuk hatiku dengan pernyataannya. Alamak. Bagaimana ini? Dasar bodoh. Kenapa dia selalu membuatku skak mat seperti ini sih. Ah.. Menyebalkan.
“Huuh… Dasar geer. Kau terlalu percaya diri,” sanggahku mencoba menutupi rasa gelisah.

“Sudahlah. Aku tahu karena kau punya alasan kan. Alasan itu bernama ‘suka’,” dia berkata dengan mantapnya. Jikalau ini adalah peperangan. Maka aku sudah mengibarkan bendera putih pertanda menyerah. “Sudah ah aku mau pulang saja,” ujarku sambil berdiri. Ketika melangkahkan kaki, Thomas memelukku dari belakang. Suasana hangat ini kian bertambah hangat. Malahan terasa bagai bara api yang kian berkobar.
“Aku suka padamu!” bisiknya terdengar geli di telinga.

“Lepasin!” aku mencoba melepaskan pelukannya. Ku lihat raut wajahnya. Dia sepertinya malu atas tindakannya demikian yang sudah memelukku.
“Maaf! Aduh… Aku benar-benar lancang,” ujarnya sambil menggaruk-garuk lehernya.
“Hahahaha,” aku tertawa dengan lepasnya. Rasa geli ini akhirnya keluar juga. Tentunya Thomas merasa sangat keheranan. Terlihat dari wajahnya yang konyol.

“Aduh aduh! Sakit perutku. Maaf ya!” jelasku sambil mengusap air mata.
“Kenapa kau tertawa? Aku jadi takut,”
“Aku cuma geli melihat ekspresimu. Thomas… Kau benar. Aku menyukaimu,” seperti dipukul sebuah palu keberanian. Mulutku dengan lancar berkata begitu.

“Air soda gratis itu. Semua memang alasan supaya aku bisa melihatmu lebih jelas. Tapi sekarang aku sudah bisa melihatmu dengan jelas. Bahkan lebih jelas lagi,” lanjutku dengan nada sedikit teredam.
“Benar kan dugaanku. Hehe. Sekarang aku di sini. Hey! Tataplah mataku, dengar baik-baik. Aku menyukaimu,” dia mengangkat daguku dan mengarahkan pandanganku padanya.
“Apa kau mau menerimaku? Hah?” bisiknya.

“Gimana ya, aku… Aku..” jujur saja saat ini aku seperti disiram air yang suhunya beragam.
Apa ini mimpi. Di sela-sela ini, aku mencubit perutku sendiri. Sakit! Ternyata ini nyata.
“I..Iya aku mau!” ucapku agak menyeringai karena tak tahan menahan gejolak ini. Dia tersenyum lebar lalu memelukku erat. Erat sekali. Jantungnya terdengar kencang sekali berdetak-detak. Lucu. Tapi aku terlalu kikuk. Hanya lewat soda soda gratis itu, perasaanku kepadanya selama ini ku sampaikan. Dan hari ini tepatnya malam yang berbintang ini perasaanku terbalaskan.

Soda-soda itu. Semuanya telah mempresentasikan perasaanku padanya. Rasa dinginnya mampu menyejukkan relung hati. Bunyi airnya yang menyeringai merdu. Rasanya yang mengejutkan lidah. Apa ini yang disebut kesucian air soda? Terutama saat aku jatuh cinta dan terbuai di dalamnya. Bagai menyelaminya saja. Terasa mengapung bebas bersama sosoknya. Iya.. dia, Thomas choo. Lelaki yang gemar sekali membeli soda di supermarketku. Sampai akhirnya dia menyentuh ruang kecil di hatiku. Perlahan membukakan pintunya dan mengatakan ‘ selamat pagi! ‘. Lalu lonceng kecil bersuara dengan imutnya.
“Cheers!”

“Hehe. Cheers!” kami pun saling bersulang botol yang berisi air soda. Lalu meminumnya dengan penuh perasaan cinta. Sejuk. Manis. Rasa ini semoga dapat terjaga. Duhai air soda.

Cerpen Karangan: Fauzi Maulana
Facebook: Fauzi We Lah

Sampur Terakhir

Lina mematikan musik lalu duduk di sebuah bangku. Raut wajahnya menampakkan dirinya sedang tidak bersemangat. Rifa yang melihat Lina bertingkah aneh akhir-akhir ini lalu menghampiri Lina.
“Kamu ini kenapa Lin? lagi ada masalah?” Tanya Rifa sambil duduk di sebelah Lina.
“Jujur Mbak, aku bosan dengan tari yang selalu kita bawakan saat ada acara pentas seni. Coba deh kita bikin tari yang menakjubkan, yang bisa bikin orang terpana melihat kita, kan nantinya kita bisa terkenal.” Usul Lina sambil memainkan selendang yang dibawanya.
“Oh, jadi itu yang bikin kamu tidak semangat untuk menarikan tari ini? Kalau begitu mulai besok mbak pikirkan tari apa yang bisa bikin kamu semangat menari, setuju?” hibur Rifa sambil merayunya dengan menggantungkan sampur merah di leher Lina. “Yang benar mbak? Aku setuju sekali!” jawab Lina girang.
“Ya sudah, sekarang kita bereskan semuanya, sudah jam 5 sore,” kata Rifa sambil beranjak berdiri dan berjalan menjauh dari bangku tersebut. Lina kemudian mengikutinya.
Seperti yang dijanjikannya pada Rifa, Lina langsung menuju ke balai budaya, tempat ia dan Rifa berlatih tari. Sampai di sana, ternyata Rifa belum berangkat, padahal biasanya Rifa selalu datang lebih awal. Beberapa menit kemudian Rifa datang sambil berlari- lari dari kejauhan.
“Lina, ada berita bagus!” kata Rifa sambil menetralkan napasnya.
“Berita apa Mbak?” tanyanya penasaran.
“Ada perlombaan tari untuk umum. Hadiahnya besar, pemenang utama mendapatkan satu juta beserta piala dan piagam penghargaan,” jawab Rifa sambil tersenyum senang.
“Lombanya kapan? Aku ingin ikut mbak, ayo kita ikut lomba itu,” ajak Lina bersemangat.
“Kapannya? Aku lupa Lin, kayaknya masih sebulan lagi deh, cukup buat kita bikin tari baru lagi.” Jawab Rifa sambil mengingat-ingat.
“Ya, masih ada waktu. Bagaimana koreonya Mbak? Apakah kita akan membawakan tari tradisional lagi?” tanya Lina.
“Ya, aku sedang memikirkannya, sekarang kita mulai saja buat gerakan tarinya. Bagaimana kalau paduan tari tradisional dengan modern?” Usul Rifa sambil mengeluarkan sampur miliknya. “Hem, bagus juga itu. Bagaimana kalau tari Rama Sinta dipadu dengan gerakan dramanya? Bagian modern bisa kita selipkan dengan memasukkan satu atau dua orang lagi sebagai Hanoman dan Rahwana. Kayaknya lucu. Gerakan tari modern untuk tokoh Hanoman.” Usul Lina berapi-api.
“Oh iya Lin, ide luar biasa. Berarti, satu kelompok harus terdiri dari tiga atau empat orang.” Kata Rifa yang pastinya membuat Lina mengangguk bingung memikirkan penari tambahan.
“Siapa ya yang bisa menari lagi? Bentar aku ingat dulu, ada seorang temanku yang pintar menari, namanya Putri, ayo kita tanya ke dia, siapa tahu dia mau ikut,” usul Lina pada Rifa. Rifa mengangguk lalu mereka bergegas menuju ke rumah Putri. Sesampainya di rumah Putri, Lina menuju ke depan pintu dan mulai mengetuk pintu rumah Putri. Saat pintu terbuka, terlihat Putri yang mengenakan kaos olah raga dan membawa tas.
“Ada apa Lin?” tanya Putri sibuk memasukkan barang-barang ke dalam tasnya.
“Kamu mau tidak ikut menari bersama kita untuk lomba, soalnya kita kekurangan seorang penari lagi.” jelas Lina sambil terlihat memohon kepada Putri.
“Waduh, tetapi maaf banget ya Lin, masalahnya aku sibuk sekali jadi tidak ada waktu buat latihan tari. Kamu tahu sendiri kan aku saja sekolah seminggu tiga kali, maaf banget ya Lin.” Ucap Putri sambil meminta maaf.
“Ya sudahlah kalau gitu, terima kasih ya Put,” jawab Lina sedikit kecewa dan beranjak pulang. Jawaban Putri membuat idenya mungkin akan sia-sia.
“Hei.. kok melamun, dari mana sore-sore gini?” tanya Tika. Teman satu sekolah Lina.
“Ehm.. rumah Putri Tik.”
“Memangnya ada apa?” tanya Tika lagi.
“Aku lagi mencari seseorang yang bisa menari untuk ikut lomba menari bersama kita. Ku kira Putri bisa, ternyata dia super sibuk.” Jawab Lina pada Tika.
“Lomba menari? Kalau aku boleh ikut tidak?” tanya Tika menawarkan diri. Sesaat Lina dan Rifa saling berpandangan. Setelah Rifa mengangguk akhirnya Lina pun menyetujuinya.
Latihan tari pertama kali hari ini membuat Lina, Rifa, dan Tika senang. Mereka bersama-sama membuat gerakan tari, mencari musik yang sesuai, dan saling bercanda saat istirahat. Walaupun gerakan tarinya belum seberapa, tetapi mereka sudah sangat bagus membawakan tarinya bersama.
“Hari ini sangat menyenangkan Lin, aku jadi semakin suka menari deh,” ujar Tika sambil tersenyum senang.
“Iya Tik, aku juga senang sekali, ini kesempatan kita untuk menunjukkan bahwa anak muda juga mampu berkreasi dan mengangkat budaya jawa. Dan ini tidak membosankan seperti yang orang pikir.” kata Lina bersemangat.
“Gimana latihan hari ini? masih semangat buat kedepannya?” tanya Rifa. Mereka berdua mengangguk dengan senyuman. Rifa memberikan acungan jempol kepada mereka berdua. Latihan hari ini berakhir karena hari sudah semakin sore.
Menit demi menit, Jam demi jam, hari demi hari, hingga tiga minggu sudah terlewati. Gerakan tari yang dirancang oleh Lina, Rifa, dan Tika mulai menampakkan kesuksesannya. Walaupun belum selesai, tetapi mereka akan berusaha membuat setiap detik yang mereka tarikan menjadi sempurna. Dengan semangat yang Rifa berikan kepada Lina dan Tika menjadikan mereka semakin bersemangat. Mereka sering melewatkan waktu untuk bermain dan sering berlatih tari hingga malam. Kadang mereka juga ditegur oleh orangtua mereka, tetapi mereka bersikeras untuk tidak berhenti berlatih agar tari yang mereka bawakan tidak mengecewakan. Sore itu latihan berakhir pukul 5. Lina, Rifa, dan Tika berkemas untuk pulang.
“Lina, jika besok aku tidak bisa latihan, kamu dan Tika harus tetap latihan ya? Untuk kesuksesan kelompok tari kita ini,” ucap Rifa sambil tersenyum sedih.
“Kok ngomong gitu sih Mbak?” Protes Lina. Tika mengangguk setuju dengan pertanyaan Lina. Tapi Rifa hanya tersenyum dan menggeleng.
“Ngg.. aku pulang duluan ya,” Ucap Rifa dan berlalu. Hal itu membuat Tika dan Lina merasa sedikit aneh. Tapi keduanya tak lagi membahas masalah itu. Mereka hanya tahu, Rifa sangat ingin mereka bertiga bisa mengikuti kompetisi tari ini.
Malamnya, handphone Lina bergetar. Tampak ada beberapa pesan masuk yang terlihat dari layar. Saat Lina membaca pesan itu, Lina terlihat tegang dan kaget. Handphone-nya jatuh dari genggaman. Pesan itu membuat sekujur tubuhnya lemas dan Lina jatuh tersungkur di depan rumahnya sambil menangis histeris. Ternyata pesan tersebut berasal dari beberapa temannya, mereka mengabarkan berita duka. Rifa mengalami kecelakaan saat perjalanan pulang dari sekolah dan mengalami luka parah di bagian kepala dan kaki yang menyebabkan dirinya menghembuskan napas terakhir di tempat kejadian. Seluruh otot tubuh Lina mengendur. Ia begitu lemas dengan kesedihan yang mendalam.
Seseorang yang kini telah dilapisi oleh kain putih masih menjadi tangisan di rumah duka. Banyak orang yang tak sadarkan diri karena merasa tak percaya jika Rifa pergi secepat itu. Teman-teman, guru, dan saudaranya memenuhi rumah duka. Mereka ingin melihat seseorang yang sangat mereka sayangi untuk terakhir kalinya. Setelah acara pemakaman selesai, para pelayat mulai pergi karena panasnya sinar matahari. Lina, Tika dan keluarga Rifa masih menangisi tanah bertabur aneka bunga di hadapan mereka. Setelah pulang dari pemakaman itu, Lina teringat akan lomba tari yang ia tekuni bersama Tika dan Rifa tinggal seminggu lagi. Lina sudah tidak memikirkan hal itu lagi. Lina ingin berhenti latihan lagi. Tiba-tiba terdengar bunyi ketukan pintu. Saat Lina membukanya, terlihat Tika yang masih mengenakan baju berwarna serba hitam.
“Ada apa Tik? Maaf aku sepertinya tidak akan lagi menari. Jadi ini, apa yang dikatakan Mbak Rifa sore itu? Sampur yang dia sampirkan di pundakku itu, apa artinya?” Ucap Lina lesu. Air matanya masih mengambang di pelupuk.
“Apa yang kamu katakan barusan? Kamu masih tidak mengerti?” tanya Tika tak percaya.
“Aku serius.” Jawab Lina lagi.
“Kamu ingat tidak perjuangan kita? Perjuangan kamu dan Mbak Rifa? Yang bela-belain latihan sampai malam, yang kita lakukan bersama, Kamu ingat? Mbak Rifa yang selalu memberikan semangat untuk kita, walaupun kadang kita mengeluh. Ingat? Dan.. impian kita melestarikan budaya jawa di Gunungkidul ini?” Tukas Tika menahan kesedihannya.
“Aku tahu, tapi.. aku akan selalu teringat mbak Rifa jika aku menari lagi,” ungkap Lina.
“Aku juga sama seperti kamu Lin. Aku juga pasti akan teringat sosok mbak Rifa saat menarikan tari itu. Tetapi apakah kamu tidak berpikir kalau kita berhenti menari akan membuat mbak Rifa sedih? Seharusnya kita menghargai perjuangannya agar kita terus berkarya dalam seni tari di daerah kita,” jelas Tika. Lina tersentuh mendengar jawaban Tika.
Akhirnya dengan banyak ajakan dan permintaan yang sangat mendalam dari Tika, semangat Lina bangkit lagi.
“Baik, aku akan melanjutkan semua usaha kita. Mbak Rifa sudah pergi, tapi semangatnya masih ada di sini. Di sampur ini.” Ucap Lina akhirnya. Tika mengangguk haru.
Akhirnya mereka harus mencari seorang penari lagi, mereka kebingungan karena waktu sudah semakin sedikit.
“Aku akan memohon pada Putri. Aku yakin dia pasti mampu dan mau, jika dia benar-benar mengerti kepergian Mbak Rifa.” Usul Lina. Tika pun setuju dan keduanya menemui Putri. 

Hasilnya, Putri bersedia bergabung ke dalam kelompok tari mereka setelah mendengar kabar tentang kepergian Rif. Lalu mereka mulai berlatih tari seperti dulu lagi tanpa Rifa. Mereka dengan sabar mengajarkan Putri gerakan demi gerakan. Tak terasa lomba tinggal esok hari. Putri sudah bisa menguasai seluruh gerakan dengan sangat indah karena daya tangkapnya tinggi. 

Lomba yang ditunggu-tunggu pun tiba. Para peserta lomba yang telah hadir di gedung tari tersebut sangatlah beragam. Kostum yang mereka gunakan sangat indah dan menarik. Tetapi Lina, Putri dan Tika selalu optimis. Saat pengambilan nomor, mereka mendapatkan urutan tampil terakhir dari 24 peserta lomba. Itu tidak menyurutkan percaya diri mereka.

Satu per satu para pementas tampil di depan dengan tarinya yang sangat unik dan menarik. Hingga sampailah pada nomor urut ketujuh. Lina, Putri, dan Tika selalu berdoa dan berharap agar penampilan mereka sekaligus penampil terakhir jauh lebih istimewa dibanding sebelumnya.

 Saat mereka naik ke panggung, Tika agak gugup dan gerakannya agak terpatah-patah. Lina yang melihatnya berusaha memberikan senyuman bebas kepada para juri. Tika yang saat itu melihat Lina menari dengan santai mulai mengikutinya dan beranggapan hari ini dia latihan tari seperti biasanya. Setelah turun dari panggung, mereka bertiga dipersilakan duduk di kursi para penampil untuk mendengar peraih juara yang akan dibacakan oleh juri. Lina, Putri, dan Tika sangat penasaran dan tetap bersikap tenang. Saat diumumkan pemenang ketiga, mereka agak mendesah karena bukan kelompok mereka yang disebutkan.
 
“Juara kedua diraih oleh peserta dengan nomor undian 3,” teriak sang pembawa acara. Mereka semakin putus asa saat juara kedua juga tidak diraih oleh mereka. “Dan juara pertama adalah… peserta dengan nomor undian 15! Selamat kepada para pemenang!” teriak pembawa acara yang membuat hati Lina, Tika, dan Putri tercabik-cabik. 

Mereka sangat kecewa karena mereka tidak bisa membawa piala seperti yang diinginkan almarhumah Rifa dulu. Tetapi terlihat seorang juri yang naik ke atas panggung dan membisikkan sesuatu kepada pembawa acara. “Oh ternyata, masih ada satu piala lagi untuk juara koreografi favorit! Selamat kepada para nomor undian 7 yang berhasil meraih juara koreografi favorit!” Teriak pembawa acara membuat mereka syok.

“Keempat juara kita ini, akan ditampilkan pada Perayaan HUT Gunungkidul tahun ini.” Tambah sang pembawa acara. Tika, Lina dan Putri tidak percaya nama mereka disebutkan. Mereka saling berpelukan dan berteriak histeris. 

Mereka sangat bangga saat piala, piagam serta uang pembinaan mereka bawa pulang, meskipun mereka belum berhasil menjadi juara pertama. Kemudian mereka menuju ke makam Rifa, dan menunjukkan piala juara koreografi favorit hasil jerih payah mereka. “Mbak, kita berhasil mendapatkan apa yang mbak Rifa impikan,” kata Lina sambil meletakkan piala itu di atas tanah bercampur bunga yang telah mengering.

Mungkin apa yang kita impikan tidak akan selalu terwujud, tapi jika kita berusaha, pasti akan ada sesuatu yang dapat kita raih. Sekecil apapun itu.

Cerpen Karangan: Gabriella Ryantica
Facebook: Gabriellryantica

Sebesar Biji Zarah

Waktu menunjukkan bahwa senja segera tiba. Di ruangan sederhana, terlihat jelas barang-barang berserakan, sudah, sangat tidak beraturan. Menggambarkan sang pemilik ruangan, persis. Belum terlalu gelap saat itu, biasan cahaya merah bercampur jingga dari celah sempit di jendela menyinari wajahnya.

 Wajah resah, gelisah, lelah, lesu, lunglai, lengkap dengan bekas keringat yang menempel, membuat rupanya selalu seperti itu, berantakan. Tak ada aktivitas lain setelah berlama-lama menatap laptop, selain melamun, meratapi, dan berbincang dengan dirinya sendiri. Selama ini ia hanya memikirkan dunianya, merencanakan ‘bagaimana aku bisa dapat uang yang banyak?’

Tidak ada profesi khusus, jika ia ditanya, ‘Sebenarnya, apa pekerjaanmu?’
Bekerja sebagai penjual iklan (entah iklan apa). Yang pasti, ia menghasilkan uang dengan cara berjualan iklan di internet, menjual ke luar negeri kemudian hasil yang ia dapatkan, berupa US$. Setiap harinya begitu terus. Ia mengumpulkan uang asing, kemudian menukarkannya dengan Rupiah. Haris memang orang yang tidak kenal lelah, aku mengenalnya sejak SMA. Namun sejak SMA juga, aku tidak melihat adanya perubahan yang lebih baik dari pribadinya sampai saat ini. Setelah lulus SMA ia tidak ingin kuliah, malah ikut merantau denganku karena aku kuliah di luar daerah tempat tinggalku.

Dia memang berasal dari keluarga tidak mampu, dia merantau sejak SMA karena tempat tinggalnya yang jauh dari pendidikan. Berjalan ke sekolah harus menempuh kiloan meter. Apadaya, ia hanya berjalan mengikuti arus hidupnya. ‘Tak ada pilihan lain untuk sementara, selain mencari uang.’ itu katanya. Tapi setelah sekian tahun, sampai aku memasuki semester 3 di perkuliahanku, ia tetap pada pilihannya. Tak ada ilmu, pengetahuan, dan pendidikan. Hanya banyak wawasan tentang dunia, karena seringnya ia menjelajah dunia, Dunia Maya.

“Ris, sudahi dululah. Maghrib ini. Ayo ke masjid!”
“Nanggung ini Zul, dikit doang!”
“Ayolah Ris, keburu iqomah!!”
“Iya, ya, ya, kamu duluan aja. Aku nyusul entar..”
“Astaghfirullahaladzim, bener nyusul nggih?”
“Nggih ustadz Zulkifli.”

Sulit sekali diajak on time untuk salat Fardhu, itulah Haris. Dia terlalu disibukkan dengan laptop, dengan urusan-urusan bisnis, dan keuangan. Serta beberapa hal yang menggiurkan yang ada pada DuMay (Dunia Maya). Kadang ia lupa ‘Aku tadi sudah salat belum ya?’ Seperti ini memang sudah gawat darurat, bahaya. Hal semacam ini sudah sepatutnya menjadi tanggungjawabku untuk menyadarkannya. Seorang yang dekat denganku, yang sudah beberapa tahun mengikutiku ke perantauan, dan satu atap denganku, ia muslim dan ia saudaraku, ia berjuang bersamaku tapi sampai saat ini, aku belum berdakwah padanya. Aku terlalu asyik dan sibuk mencari ilmu juga, hingga lupa bahwa aku harus menyampaikannya. Aku terlalu egois memperbaiki diriku sendiri, hingga aku tak peduli ada orang di sampingku yang perlu diperbaiki. 

Ini salahku, aku tak menyadarinya selama ini. ‘Ya Allah ke mana saja aku?’ Ibarat tanah yang keras yang mampu menahan air, maka air itu dimanfaatkan orang lain. Aku banyak mengumpulkan ilmu dan menghabiskan waktuku untuk ilmu, tetapi aku masih sedikit mengamalkan ilmuku ke orang lain. Yang seperti ini juga wajib diperbaiki. Aku harus segera mengingatkannya! Malam ini hujan, aku ingin menikmati udara malam di samping kos-kosan, udara yang bercampur aroma khas tanah yang tersiram air dari langit itu. Tak bisa didustakan, bahwa hujan turun adalah rahmat Allah yang luar biasa. Aku menggigit bibir dan membuang napas tipis sambil melihat gelapnya langit. Aku hanya ingin mengamatinya.

Tiba-tiba saja lamunanku terpecahkan oleh suara petir, “Zul! Zul!! Zulkif.. Nah ini dia!”
“Allahuakbar, apa sih?” Ada dua petir di sini, yang pertama petir dari Allah yang rasa-rasanya suara itu telah membelah dadaku, yang kedua Haris berteriak memanggilku bersamaan dengan datangnya petir suaranya merusak telingaku. “Zul, parah ini Zul, parah, parah!”

“Mukamu itu parah, belum mandi kan?”
“Zul serius ini, aku baru saja bisa ngumpulin 900US$, aku harus mengganti laptopku dengan laptop baru yang lebih canggih Zul. Tapi Ibuku di kampung sakit, dan dirawat inap, aku harus bagaimana Zul? Aku susah payah untuk ini, tapi kenapa pake ada acara sakit segala Ibuku ini!”
“Astaghfirullahaladzim, itu kamu sedang diuji Ris. Sekarang, sudah berapa lama kamu ndak balik ke kampung halamanmu? Sudah berapa tahun kamu itu ndak ngasih perhatian sedikit saja pada Ibumu? Kamu sudah fatal Ris. Kamu termakan dunia! Berapa kali kamu melakukan kebaikan? Berapa banyak kamu melakukan kesalahan?”

“Zul, hidup ini kan ndak instan. Makanya aku kerja keras!”
“Kerja keras untuk duniamu saja kan? Mana pernah kamu bekerja keras untuk akhiratmu? Ris, asal kamu tahu kebaikan sebesar biji zarah akan dicatat oleh malaikat, pun keburukan sebesar biji zarah saja akan dicatat juga oleh malaikat! Lalu, berat mana antara amal baik dan amal burukmu? Kamu hanya memikirkan duniamu saja. Padahal kamu juga punya kehidupan setelah mati Ris. Apakah uang US$ yang kamu kumpulkan bertahun-tahun itu akan berguna di sana kelak? Mikir dong Ris!” Haris hanya terpaku mendengar bait-bait kalimat yang terucap dari lisanku. Ya Allah sadarkanlah Haris.

“Aku harus bagaimana Zul? Aku memang rapuh selama ini Zul. Memang kalau dipikir-pikir aku belum pernah melakukan kebaikan apa pun, paling cuma salat, itu pun karena kau ingatkan. Dan, aku sering berbohong Zul pada Ibuku, aku bilang aku sekarang kuliah bersamamu dan waktuku terlalu singkat saat masuk kuliah jika aku harus pulang. Sedangkan kenyataannya aku seperti ini..” Haris menyadarinya, dia duduk di sebelahku membungkukkan badannya, tangannya menyentuh dada, seakan-akan ia sedang sakit hati. Sakit hati dengan dirinya sendiri. Menangis tersedu sebagai bentuk kesedihan yang ia rasakan, kesedihan yang mendalam.

“Pulanglah Ris, luluskan ujianmu ini. Ujian dari Allah. Kamu tidak menemui Ibumu sama sekali semenjak lulus SMA, kamu tidak akan pernah tahu kejadian yang akan datang. Ini akan menjadi kebaikan terbesarmu, bukan kebaikan yang hanya sebesar biji zarah. Lawan musuh besarmu Ris, musuh besarmu adalah hawa nafsumu..” Haris masih berpikir, pikirannya pasti kacau. “Jangan banyak berpikir Ris, ini bukan untuk dipikirkan, segeralah mengambil langkah. Tidak ada gunanya kamu berpikir dalam bertindak saat seperti ini, saat kamu harus segera menemui wanita yang melahirkanmu di dunia ini, yang sejak kecil hingga kamu dewasa, beliau yang ada setiap kau membutuhkannya, beliau pahlawanmu. Saat ini kamu yang menjadi pahlawannya.”

Haris menarik napas perlahan, “Baiklah. Nanti malam bangunkan aku, aku ingin salat tahajjud bersamamu Zul,”
“Insyaa Allah aku bangunkan,”
“Setelah subuh antar aku ke terminal ya Zul?”
“Jadi besok kamu langsung berangkat?”
“Ya, sudah aku niatkan. Ibu pasti merindukanku Zul. Kasian Ibu..”
“Kalau begitu, segera istirahat. Siapkan dirimu untuk besok..” Haris beranjak dari duduknya, berjalan menuju kamarnya. Aku pun juga segera tidur.

Sepertiga malam datang, aku terbangun dari lelapku. Membangunkan Haris, sesuai dengan pesannya semalam. Ia ingin salat tahajjud bersamaku. Ini pertama kalinya, Haris bangun untuk salat tahajjud. Usai salat tahajjud, Haris segera berkemas. Kami berangkat sebelum subuh ke terminal. Memang cukup jauh, jarak antara kos dengan terminal. Memakan hampir satu setengah jam perjalanan. Sampai di terminal, adzan subuh berkumandang, seruan itu membuatku lega, aku masih bertemu dengan subuh. 

“Zul, subuh dulu ya?”
“Ya dong..” Haris benar-benar berubah dalam kedipan mata.
Kami melaksanakan salat subuh berjama’ah di masjid dekat terminal. Setelah selesai salat, aku langsung ke luar masjid. Aku tengok kanan kiri, Haris tak ada. Ternyata ia masih di dalam masjid. Ia ke luar setelah aku menunggunya selama 5 menit. “Ayo Zul!”
“Hati-hati Ris nanti dalam perjalanan, jangan lupa dzikir, sebisamu lah dzikir apa. Maaf selama ini aku egois, belum mengajarkan ilmu yang aku dapat padamu..”
“Tak apa, setelah pulang dari kampung halaman, ajari aku banyak hal tentang Islam..”
“Insyaa Allah.”

Sampai di depan masjid, Haris menengok ke arah kiri dan berteriak, “Awas!!!” Ia berlari menyelamatkan ibu-ibu paruh baya yang nyaris tertabrak mobil, didorongnya ibu itu, dan Haris tertabrak mobil hingga tubuhnya terpental dan terguling beberapa meter. “Allahuakbar, Haris!!!” Aku berlari mendatangi Haris, kepalanya terbentur aspal, hingga darah segar mengalir di pelipisnya, mulutnya pun penuh darah. Ia hanya diam. Tak mengucapkan apa pun. Beberapa detik aku baru meletakkannya di pangkuanku, napas akhirnya berhembus. “Innalillahi wa innailaihi rooji’un.”

Cerpen Karangan: Dyari Tsani
Facebook: Lisnadya

Kapten, Berjanjilah

Bukan darah, bukan luka tembak, bukan bekas jahitan. Aku tidak takut dengan mereka. Kematian karena kecelakaan tragis, penuh luka tusuk, bahkan tubuh termutilasi. Aku pernah melihat semuanya. Menyaksikan kejadian-kejadian seperti dalam adegan film thriller.

 Seorang wanita bertangan dingin yang menangani ratusan manusia di ambang kematian. Bahkan para malaikat mendampingiku. Menunggu waktu yang tepat untuk mencabut organ vital khayal pasienku yang malang. Aku tidak takut kematian, aku tidak takut mati. Mereka seolah teman setiaku sepanjang hari. Kematian mondar-mandir di sini. Di tempat aku menghabiskan hampir tiga per empat waktuku dalam sehari. Tanganku adalah alat perantara kuasa sang pencipta.

Seolah takdir mereka tergantung hasil pekerjaanku. Lewat pisau bedah, ruang yang dipenuhi alat-alat steril, dan keyakinan aku dapat menunda aksi malaikat. Namun, satu ketakutan terbesarku adalah ketika waktu kematian tiba untuk beberapa orang khusus. Pertama kali sebagai seseorang yang diyakini bisa menyelamatkan nyawa banyak manusia aku ketakutan.

Benar-benar mengerikan hingga kakiku melemas tak sanggup menopang beban tubuhku. Beban kesedihan, kekhawatiran, dan kerinduan. Tanganku membungkam mulutku sendiri agar tidak mengeluarkan jeritan histeris. Walau berteriak pun adalah hal yang wajar dalam keadaan begini. Sesuatu yang nyata yang tidak ingin ku anggap benar ditangkap oleh retina mataku.

Luka tembak seperti yang biasanya aku lihat, bercak darah segar yang tampak familiar lengkap dengan aroma anyirnya. Yang berbeda dan membuatku merinding adalah pemilik mereka. Seorang pria berpakaian formal berjas sedang memejamkan mata dalam damai. Dia terbaring lemah di atas kasur bergerak khas rumah sakit. Aku, tidak, kami menariknya ke luar dari mobil putih pengangkut orang sakit, orang terluka, dan orang mati. Mati? Entah kenapa kata itu jadi terdengar sensitif di indra pendengarku setelah bertemu pria ini dalam keadaan memilukan.

Aku berharap Arga sedang bergurau. Hanya salah satu candaannya untuk menciptakan kejutan setelah pertemuan terakhir kami satu bulan lalu. Ya, nama pria yang sekarang sedang menerima perawatan dasar ini adalah Arga. Setidaknya itu nama yang dia perkenalkan padaku sejak pertemuan awal kami satu tahun lalu. Bukan waktu singkat untuk mengerti tentang seseorang. Kendati begitu, pekerjaannya yang mengikrarkan rahasia sebagai sebuah asas menjadikan sepasang kekasih ini terasa seperti orang asing. Pria yang tampan, bukan pecundang, menyenangkan, dan misterius. Deskripsi Arga di mataku.

“Kau akan pergi? Ke mana? Berapa lama? Dan bisakah kali ini aku tahu apa yang akan kau lakukan? Pekerjaan seperti apa yang mengharuskanmu membatalkan kencan kita untuk kesekian kalinya?” Kami bertatapan lekat. Seperti deja vu. Pertemuan kami, perpisahan kami, dan kencan kami selalu berakhir seakan-akan dia akan pergi jauh selamanya. Perasaan risau selalu muncul dalam momen dan atmosfer serupa. Pekerjaan untuk menjaga keamanan dan pertahanan negara tidak sesederhana kedengarannya. “Aku tidak boleh tahu, kan? Kenapa? Apa aku masih bukan orang yang pantas mengetahuinya?”

“Kita sudah sering membahas ini, Reina. Ini bukan yang pertama kalinya. Kenapa kau selalu meributkan hal yang sama?” Benar, bukan yang pertama aku ingin tahu ke mana Arga akan pergi, apa yang dia lalui selama tidak bersamaku, bagaimana keadaannya. Apa keinginanku adalah hal langka bagi seorang kekasih? Hanya hal-hal kecil dan dasar tapi menjadi rumit karena dia Arga. Seseorang yang mengangkat senjata, melindungi dan menyelamatkan orang lain dari peluru dengan menembakkan peluru, mengumpamakan seragamnya sebagai kain kafan.

Aku tidak bisa untuk tidak mencurahkan amarahku pada pria yang dengan gagah mengenakan seragam kebanggaannya ini. Aku tidak yakin itu kencan, itu hanya waktu senggang saat jam istirahatnya. Arga bisa kapan saja menerima panggilan dari ponsel pintarnya lalu ya begitulah akhir perjumpaan kami. Tidak akan sempurna tanpa percekcokan khas kami. Kami sibuk bekerja dan saat bertemu kami bertengkar. Sungguh hubungan yang dramatis.

“Aku selalu mendebatkan hal yang sama karena kejadiannya selalu sama dengan alasan yang sama. Aku ragu, apa selama ini kita benar-benar menjalin hubungan? Kenapa aku merasa hanya aku yang menjalaninya? Kau tidak bisa mengatakan apa yang ingin aku ketahui, kau berbohong tentang sesuatu yang kau pikir tidak penting untuk aku mengetahui kebenarannya. Asal kau tahu, apa pun itu menjadi penting jika menyangkut dirimu.”

“Maafkan aku. Aku hanya tidak ingin kau khawatir.”
“Jika itu keinginanmu kau telah gagal. Semakin kau membohongiku agar tidak khawatir kau membuatku dua kali lebih khawatir. Jadi berjanjilah untuk tidak berbohong lagi padaku!”

Seorang dokter memasuki ruangan yang sudah dipersiapkan dengan detail untuk Arga. Dokter pengganti yang mengambil alih jadwal bekerjaku. Rekanku menyadari tangan ajaib Dokter Reina tidak akan berhasil bagi pasien satu ini. Aku bahkan tidak sanggup melihat tubuh pasinya yang berlumuran cairan kental berwarna merah. Apa jiwa penyelamatku lumpuh karena pria yang bahkan dengan senang hati meninggalkanku demi tugas negara? Tapi aku? Karena dia aku malah melepas tanggungjawabku sebagai dokternya. Reina, sadarlah! Ruangan ini untukmu mengenakan sarung tangan dan masker. Bukan terisak sesenggukan karena pasienmu.

“Maaf, aku terlambat karena harus pergi ke markas.”
“Di waktu liburmu mereka masih menyuruhmu bekerja?” Tanyaku retorik.
“Tadi itu mendesak, Reina.”
“Dan perintah?” Arga mengangguk.

Terbukti seperti pernyataannya bahwa perintah adalah nyawa seorang prajurit. Dia sudah melakukan sumpah. Seharusnya aku menyadari ini sebelum akhirnya memutuskan untuk menjalin hubungan dengan seorang yang dipenuhi rahasia. Sebab dia Arga, maka aku tidak akan memilikinya sendiri. Bangsa dan negara, pemerintah, masyarakat. Arga juga milik mereka. Mereka mempunyai hak menggunakan apa yang menjadi milik mereka. Karena aku hanya prioritas kedua maka aku tak bisa banyak menuntut. “Karena itu perintah maka kau tidak bisa menolaknya. Aku ingin tahu. Jika negara kita memberi perintah untuk meninggalkanku apa kau akan melakukannya? Ah, kau selalu melakukannya.”

“Negara tidak akan memintaku meninggalkan seorang wanita hanya karena dia cantik. Negara kita bukan pencemburu sepertimu.” Cemburu? Jika negaraku adalah seorang wanita mungkin aku akan melabraknya. Aku merasa lucu dengan hidupku sendiri.
“Kau selalu bisa membuat lelucon kapan pun dan di mana pun, Kapten.”
“Karena Reina-ku bukan musuh negara atau ranjau yang bisa dihadapi dengan serius.”

Lidahku kelu, tanganku bergetar memegang pisau bedah, air mataku terserap di masker yang ku kenakan. Dapatkah aku menggoreskan benda ini ke kulit Arga? Aku sudah lima tahun bergulat di ruang operasi tapi kenapa pria yang sedang terpejam bagai bayi ini menggoyahkanku. Apa aku masih sanggup datang ke ruangan penuh aroma antibiotik ini setelah kekasihku mati di depan mataku oleh tanganku sendiri? Masihkah aku merasa baik ketika orang-orang memanggilku dengan menyematkan gelar dokter sebelum namaku?
Arga, jangan buat aku menyesal sudah menuntut ilmu selama enam tahun karena tidak mampu membuatmu tetap hidup!

“Kau hidup.” Kata melegakan itu ke luar dari mulutku sendiri. Aku tidak perlu melepas jas putih yang sudah melekat padaku tujuh tahun terakhir ini karena merasa menyesal. Aku tidak jadi kehilangan harga diriku dan kekasihku. Tidak, mungkin tidak hari ini. Kejadian tadi siang membuktikan bahwa aku seorang dokter yang menakjubkan. Aku bisa menyelesaikan operasi dengan sukses sambil menangisi pasienku.
“Sepertinya tidak. Karena aku sedang melihat bidadari berarti aku sudah di surga.”

“Kau harus menjelaskannya. Kenapa kau bisa terluka? Apa kau berkelahi? Siapa yang menembakmu? Aku tidak peduli jika kau membohongiku lagi. Kau harus memberikan penjelasan agar aku tidak seperti orang bodoh yang tidak tahu apa yang terjadi pada kekasihku.”

Air ini menetes begitu saja, membasahi perban di tangan Arga. Bukan kebohongan yang ingin aku dengar. Tentu saja bukan. Tapi kembali lagi karena dia Arga maka hanya ada dua pilihan. Dia menceritakan apa yang terjadi dalam sebuah dusta atau tidak sama sekali. Jelas aku tidak akan memilihnya bungkam.
“Terima kasih karena sudah menyelamatkanku. Dan maaf sudah membuatmu khawatir.”

“Kau tetap akan selamat meski kau bukan kekasihku. Dan maaf? Kalau kau sangat menyesal, berjanjilah jangan pernah muncul di hadapanku saat tak sadarkan diri apalagi dengan penampilanmu seperti tadi.”
Aku merasa hanya memiliki raga dan hati Arga tapi tidak tentang kehidupannya. Dia menjadi Arga kekasihku saat bersamaku dengan segala ketampanan, kebaikan, dan leluconnya.

Namun dia menjadi Kapten yang memimpin sebuah perang, menerima misi, dan hal ekstrim lain saat tidak bersamaku. Kembali menjadi Arga yang misterius. Aku tidak tahu apa yang dia lakukan saat tidak denganku. Benar-benar tidak tahu. Yang aku ketahui Arga melakukan pekerjaan dengan mempertaruhkan nyawanya. Sangat beruntung bangsa ini memiliki pelindung yang setia seperti dia dan tampan.

“Siapa dia? Apa dia temanmu?” Aku turut bersamanya saat dia menghadiri upacara sakral pemakaman seseorang. Meski diizinkan ikut, aku hanya boleh menetap di mobil. Terkadang aku merasa apa dia sangat peduli padaku atau kehadiranku di sekelilingnya mengusik kegiatannya.

“Dia rekanku dalam beberapa misi sebelum aku menjadi kapten.”
“Jika dia seprofesi denganmu.. jadi.. mungkin bisa juga kau akan..”
“Reina, pikiran buruk akan menjadi benar-benar buruk jika kau terus memikirkannya. Mulai sekarang hanya berpikirlah aku akan selalu kembali kepadamu.”
“Kau sudah berjanji.”
“Itu bukan janji. Tapi sebuah harapan.”
“Maka jadikan itu sebuah janji. Berjanjilah seperti seorang prajurit yang bersumpah tidak akan mengkhianati negaranya. Dengan begitu kau akan selalu kembali padaku, Kapten Arga.”

Pada akhirnya Arga selalu kembali kepadaku. Aku menerima kehadirannya dengan segala situasinya. Arga memang seorang prajurit yang memegang teguh janji sebagai harga dirinya. Namun, aku merutuki kebodohanku dan kenaifanku. Aku hanya memintanya berjanji untuk kembali. Tidak menekankan apakah dalam keadaan hidup atau mati.

TAMAT
Cerpen Karangan: Ennofira

Surga Kecil Yang Hampir Terlupakan

Adi Bima Saputra adalah nama yang diberikan oleh almarhum ayahnya, harapannya agar kelak ia menjadi seorang laki-laki yang kuat dan tangguh untuk menghadapi kehidupannya, seperti tokoh pewayangan hindu kuno “Bima” atau dalam cerita wayang jawa terkenal dengan panggilan raden werkudara yang terkenal dengan kekuatannya.

Sore itu, ayahnya Sutardi meninggal dunia akibat penyakit komplikasi yang dideritanya selama dua tahun. Seperti sudah tahu bahwa umurnya tak lagi panjang, Sutardi ayah Bima memberi pesan pada ibu Bima, Minarsih yang saat itu sedang hamil tua sembilan bulan dan sudah akan mendekati persalinan.

“Bu. Bapak sudah tak kuat lagi dengan penyakit ini, Bapak akan tidur panjang Bu. Tolong jaga dan rawat anak kita dengan sebaik mungkin, Bapak berharap anak kita kelak menjadi anak yang sukses dan tangguh. Tolong beri nama anak kita Adi Bima Saputra ya Bu,” pesan Sutardi yang terkulai lemah di ranjang sambil memegang erat tangan istrinya. “Jangan bicara seperti itu pak. Bapak pasti kuat, lawan sakitnya Pak, demi anak kita,” jawab Minarsih seraya terisak tangis di hadapan suaminya.

Tak lama kemudian Sutardi mengalami sakaratul maut. Para tetangga yang datang mulai membacakan dzikir tahlil untuk mengantar kepergian Sutardi. Tangisan bertumpah ruah di gubuk kecil itu. Belum selesai tahlil dipanjatkan Sutardi sudah menghembuskan napas untuk terakhir kalinya. Beberapa tetangga berusaha mengangkat Minarsih yang jatuh pingsan sambil mengipasinya, sedangkan beberapa sesepuh desa mulai sibuk mempersiapkan pemakaman Sutardi.

Sehari setelah kepergian Sutardi, Minarsih pun merasakan kontraksi pada kandungannya atas usul dari para tetangga, dibawalah Minarsih ke dukun bayi di kampung sebelah. Selang beberapa jam kemudian lahirlah seorang bayi laki-laki yang kemudian diberi nama sesuai dengan pesan dari sang suami. Sutardi memang seakan sudah tahu bahwa kelak dia akan memiliki seorang anak laki-laki, itulah mengapa dia hanya memberi amanat nama untuk anak laki-laki pada Minarsih.

Hari-hari dilaui Minarsih untuk merawat Bima seorang diri tanpa ada bantuan dari sanak saudara mana pun. Karena sebenarnya Minarsih dan Sutardi bukanlah warga asli desa tersebut, melainkan mereka adalah perantau yang datang ke desa tersebut untuk bersembunyi dari orangtua Minarsih, sebenarnya pernikahan Minarsih dan Sutardi tak direstui orangtua Minarsih akibat Sutardi hanya bekerja sebagai kuli bangunan yang tak tentu gajinya. Terkadang Minarsih menerima bantuan dari para tetangga yang merasa iba dengan keadaan ekonominya, semenjak Sutardi mulai sakit-sakitan Minarsih hanya mengandalkan kemampuannya sebagai buruh cuci di rumah setiap tetangga yang membutuhkan jasanya.

Bima terlahir sudah menjadi seorang yatim. Betapa malang sekali nasib Bima, sejak lahir ia tidak bisa merasakan kasih sayang utuh dari kedua orangtuanya, yang ia miliki kini hanya seorang ibu yang selalu menyayanginya. Bima pun tumbuh menjadi anak yang lembut dan baik. Ini karena asuhan utuh seorang ibu padanya. Sikap dan watak Bima memang benar-benar lain dari anak laki-laki seusianya yang nakal dan sulit diatur oleh orangtua, Bima selalu patuh dan gemar membantu ibunya bekerja.

Hari-hari mereka lalui berdua dengan rasa saling menyayangi, tak jarang Bima menggantikan kerjaan ibunya saat Minarsih sedang sakit, Bima tak mengeluh bahkan ataupun merasa malu. Justru Bima merasa senang bisa membantu beban pekerjaan ibunya, tak jarang saat ibunya sakit dia yang merawat membuatkan makanan dan meracik obat dari dedaunan untuk ibunya.

“Terima kasih Nak, harusnya tak perlulah kau melakukan ini. Ini kerjaan Ibu, Nak. Sudah. Beristirahatlah sana,” kata Minarsih pada Bima.
“Tak apa Bu. Bima tidak keberatan membantu Ibu, bahkan bisa merasa senang bisa membantu Ibu. Bima sayang Ibu, apakah Ibu juga sayang pada Bima?” jawab Bima sambil memeluk ibunya yang sedang terbaring di ranjang. “Tentulah Nak.. Ibu sayang Bima,” jawab Minarsih.

Suatu hari sepulang sekolah, Bima bertanya pada ibunya, “Bu, Ayah Bima mana? Apakah Bima tidak punya Ayah Bu?” tanya Bima pada ibunya. “Kenapa Bima tiba-tiba tanya seperti itu?” jawab Minarsih.
“Tadi di sekolah membahas tentang kasih sayang orangtua, termasuk Ayah, kenapa Bima tak ada Ayah selama ini bu? Apakah Ayah itu hanya dimiliki oleh sebagian orang Bu?” tanya Bima dengan polosnya.
“Tidak Nak. Setiap anak itu pasti punya orangtua Ayah dan Ibu, Bima juga punya Ayah. Sama seperti yang lain,” jawab Minarsih, mencoba menjelaskan.

“Lantas.. Di mana Ayah Bima Bu. Kok Bima tak pernah melihatnya? Kalau setiap anak punya Ayah, lantas di mana pula Ayahnya Tinur dan Abenk?” Bima terus mencecari ibunya dengan pertanyaannya.
“Begini Nak, Ayah Bima sekarang sudah di surga di samping Tuhan Nak. Sedangkan Ayahnya Tinur juga sudah ke surga, nah, kalau Ayahnya Abenk sudah tidak bersama dengan Abenk dan Ibunya,”

“Oh. Begitu ya Bu, ada urusan apa Ayah ke surga Bu. Apakah Ayah bekerja pada Tuhan Bu. Sehingga Ayah dipanggil ke surga?” Minarsih tak mampu lagi menjawab pertanyaan anaknya itu. “Sudahlah Nak. Suatu saat nanti kau akan mengerti sendiri alasannya, sekarang bantulah Ibu untuk mengangkat cucian ini ke jemuran belakang,”

“Baiklah Bu.” jawab Bima singkat.

Hari-hari terus berlalu berganti dengan minggu, minggu pun berganti dengan bulan, dan bulan pasti akan berganti dengan tahun. Bima telah tumbuh menjadi seorang pemuda yang tampan dan sukses dalam pekerjaannya, kini ia sedang berada di jakarta untuk menyelesaikan sedikit masalah pada bisnisnya, selain di jakarta Bima sudah mempunyai tiga cabang restaurant yang ada di sekitar jabodetabek.

Bisnisnya kian maju dan sukses dia kini menjadi pebisnis yang tangguh dan ulet dalam menghadapi persaingaan bisnis di jakarta. Tapi, itulah yang mungkin merubah sikap Bima pada ibunya, karena kesuksesannya ia menjadi sibuk dan tidak ada waktu untuk ibunya. Dalam waktu dua tahun, paling Bima hanya dapat pulang tiga kali. Itu pun setiap pulang hanya dua-tiga hari saja dia di rumah, setelah itu kembali lagi pada bisnisnya.

Sedangkan Minarsih kini telah bertambah umurnya, tubuhnya semakin renta dan sudah tidak terlalu kuat untuk bekerja keras, walaupun setiap bulan Bima selalu mengirimkan uang untuknya, dia tetap saja menjadi buruh cuci. Alasannya karena itu sudah menjadi kebiasaan dalam hidupnya, dia bekerja bukan karena uangnya.

Kerjaan ini masih dilakukannya juga karena untuk menghibur hatinya sendiri, karena di rumah sudah tak ada lagi teman yang mau menemaninya hanya sekedar untuk mengobrol. Sampai suatu hari, Bima pulang dan memberitahu ibunya bahwa ia akan segera menikah dengan seorang gadis jakarta anak seorang konglomerat.

“Bu. Bulan depan aku mau menikah,” Bima memulai pembicaraan dengan nada ketus.
“Alhamdulillah. Dengan siapa Nak, gadis mana? Kenapa kau belum mengenalkannya pada Ibumu ini Nak?”
“Dia gadis jakarta Bu, tak usahlah. Nanti kalau kami sudah menikah saja Bima ajak ke sini, lagian dia juga sibuk Bu. Kerjanya sama seperti Bima, dia juga pembisnis,” jawab Bima sekenanya. “Baiklah Nak, Ibu yakin dengan pilihanmu. Dia pasti anak yang baik, dan bisa merawat kamu dan anak-anakmu kelak,” dalam hati sebenarnya Minarsih ada perasaan sedikit kecewa dengan anaknya Bima, tapi tidak menunjukkannya, ia tak mau anaknya tahu.

Saat itu, Bima dan calon istrinya sedang membicarakan tentang pernikahan mereka berdua yang rencananya akan digelar pada sebuah gedung megah di jakarta, dengan tamu undangannya adalah kolega kerja kedua mempelai serta rekan kerja orangtua mempelai wanita. Dan hanya mengundang keluarga terdekat saja. Sedangkan Bima hanya mempunyai seorang ibu dan tak mungkin rasanya bila ibuya tak ikut hadir dalam acara pernikahannya.

“Memang Ibunya Mas kerja apa? Pengusaha kuliner juga ya Mas?” tanya calon istri Bima. Bima yang mendapat pertanyaan itu bagai disamber petir di siang bolong, ia bingung harus jawab apa. Kenyataannya Bima yang dulu telah berubah, ia kini malu mengakui ibunya yang berprofesi hanya sebagai buruh cuci.
“Emm. A-an-anu sebenarnya Ibuku itu hanya seorang buruh cuci,” jawab Bima dengan ragu.
“Hah? Apa? Kalau begitu Ibu Mas tak boleh datang dalam acara pernikahan kita, ini acara besar, yang hadir pun orang-orang yang berkelas.

Kalau memang Mas sayang sama aku, lakukan apa yang ku pinta,” setelah menyelesaikan kata-katanya, calon istri Bima pun pergi begitu saja tanpa menunggu jawaban dari Bima.
Setelah hari itu, Bima merasa bimbang antara rasa sayangnya pada ibunya dan rasa sayangnya pada calon istrinya. Berhari-hari Bima menimbang-nimbang mana yang harus dipilihnya, karena merasa ia tak sanggup menyelesaikannya ini sendiri, datanglah ia pada seorang guru spiritual. Berceritalah Bima tentang kebimbangan yang dialaminya. Dan sang guru spiritual pun menanggapi. “Coba, pulanglah. Kemudian lihat serta cucilah kedua tangan Ibumu, besok kembalilah lagi ke sini setelah kau melakukannya, dan aku akan memberikan jawabanku,” jawab sang guru.

Kemudian pulanglah Bima ke rumah dan melakukan apa yang diperintahkan sang guru tadi padanya. Betapa terkejutnya ia begitu melihat tangan ibunya yang penuh dengan luka lecet akibat seringnya mencuci. Dia juga sadar bahwa tangan lecet itulah yang merawat, mengasuh, dan membelainya di waktu kecil, karena tangan lecet itulah ia dapat tetap hidup, sekolah dan bahkan jadi seorang yang sukses seperti sekarang, berkat tangan lecet itulah usahanya makin maju karena setiap malam tangan itulah yang menengadah pada Tuhan mendoakan keberhasilannya. Keesokan harinya, dia pergi ke guru spiritualnya lagi.

“Bagaimana? Apa yang kau dapatkan?” tanya sang guru.
“Saya sadar bahwa surga kecil itu ada pada senyuman Ibu. Dan saya hampir saja melupakan surga kecil itu. Saya merasa sangat berdosa pada Ibu saya,” jawab Bima.
“Baguslah jika kau mengerti, kalau begitu pulanglah dan mintalah maaf pada Ibumu, serta basuhlah kakinya. Dan katakan yang sebenarnya pada calon istrimu,”
“Baiklah.” jawab Bima singkat.

Setelah meminta maaf dan membasuh kaki ibunya, kemudian ia menemui calon istrinya.
“Bagaimana, kau setuju kan jika Ibumu tak hadir dalam acara pernikahan kita?” tanya calon istrinya.
Bima menjawab, “Aku tidak mau mengorbankan Ibuku untuk siapa pun, aku lebih baik tak jadi menikah jika Ibuku jadi korban hanya untuk menutupi gengsi semata.” jawab Bima tegas, sambil berlalu pergi. Dan pernikahan mereka pun batal. Kini Bima membawa ibunya ke jakarta untuk ikut menemaninya.
(Banyuurip, 1 oktober 2015)

Cerpen Karangan: Ravita Rahma
Facebook: Raviita Rahmaa
Kembali dengan cerpen saya Ravita Rahma.

Blue Ocean Cannibal

Mata biru cerah itu terlihat kosong, hanya memandang hampa lempengan besi di hadapannya. Ia tidak bergerak, tidak bernapas dan tidak memiliki detak jantung. Namun sistem otaknya tetap berfungsi, dan menurut ilmu kedokteran, ia dikatakan Hidup.

“Lica, lihatlah! Ayah berhasil. Ayah berhasil membuatnya hidup kembali. Kau tahu artinya Lica? kita tidak akan pernah punah. Kehidupan tidak akan pernah berakhir. Dan bumi ini, akan terus ada untuk selamanya.” seru seorang pria tua berjas putih seraya menggendong putri kecilnya yang masih setia memeluk boneka beruang cokelatnya.

Gadis kecil itu hanya bisa menatap bingung ke arah sang ayah, yang tiada hentinya berbicara. Ia tahu ayahnya sedang bahagia, namun ia tidak tahu ayahnya sedang berbahagia untuk apa.
“Ayah, kenapa dari tadi dia hanya duduk diam di situ?” tanya gadis kecil itu sambil menunjuk seseorang yang berada di dalam sebuah box besi. Sang ayah tidak lantas menjawab pertanyaan putrinya, ia hanya tersenyum penuh arti kepada putrinya dan membisikkan. “Suatu saat nanti, kau pasti akan tahu putriku.”


Lica, dengan tubuh kurusnya, ia duduk meringkuk di sudut kamar orangtuanya. Dari jendela, terlihat jelas bahwa matahari akan segera kembali ke singgasananya dan digantikan oleh Bulan, yang menjadi pertanda dimulainya malam. Lica tidak sendirian di sini. Ia bersama ibunya, namun hanya raganya saja tidak dengan jiwanya.

Jiwa sang ibu telah direnggut paksa oleh sebuah makhluk kasat mata yang menghantui kehidupan kali ini. Pandangan mata Lica tidak hentinya menatap sedih ke arah sang ibu. Memperhatikan secara detail titik-titik biru di bola mata ibunya. Sungguh, ia menyesal telah mengizinkan ibunya ke luar kemarin sore.
BRAAKKK!!

Debuman pintu langsung membuat Lica tersentak dan berdiri. Matanya menatap nyalang ke arah pintu ruangan tersebut yang tidak terkena cahaya sedikit pun. Secara perlahan, ia mengeluarkan sebuah pistol dari saku celananya dan mengarahkannya tepat ke pintu. “Lica! kita harus segera pergi dari sini.” sentak seorang pria yang secara tidak sadar membuat Lica bernapas lega. Namun sekejap kemudian, raut wajah Lica kembali menegang.

“Ada apa Dave? kenapa kita harus pergi dari sini?” tanya Lica.
“Tempat ini sudah tidak lagi aman Lica. Kita harus cepat pergi, kalau tidak mau menjadi seperti mereka.” Jawab Dave. “Tapi bagaimana dengan Ibu? aku tidak bisa meninggalkannya sendiri di sini Dave.”
“Kamu harus bisa, Lica. 7 hari. Aku janji kita akan kembali ke tempat ini bersama dengan solusi atau mungkin apa pun yang bisa mengembalikkan keadaan Ibumu seperti sebelumnya.” ucap Dave yang berusaha meyakinkan Lica.

“Bagaimana jika saat kita kembali, Ibu sudah menjadi seperti mereka?”
“Itu tidak mungkin terjadi, Lica. Masa transformasi itu akan berlangsung selama 10 hari. Dihitung dari hari ini, berarti kita hanya memiliki 9 hari untuk mencari solusi itu.”
Lica masih terlihat ragu, namun saat ia melihat sorot mata Dave yang penuh keyakinan, membuatnya ikut merasa yakin bahwa ia akan berhasil membuat semuanya kembali seperti semula. Terutama ibunya. Lica mengangguk, “Baiklah.”


Deru napas begitu menderu dan saling berbalas satu sama lain. Mereka tidak bisa berhenti. Mereka harus terus berlari dan menjauh dari jangkauan makhluk menyeramkan itu. Sesekali Lica melihat ke belakang, dan masih saja ia menemukan siluet-siluet tubuh manusia bungkuk itu dari kejauhan.

SREEK…

“DAVE!!!” Lica meneriaki Dave, saat melihat Dave jatuh terperosok dengan sebuah akar pohon yang membelit kakinya. Lica mengeluarkan sebuah pisau kecil bermata tajam dari tas pinggangnya, dan mulai mengikis akar pohon yang membelit pergelangan kaki kanan Dave. Lica semakin panik saat suara geraman makhluk itu semakin jelas terdengar. Isak tangis mulai terdengar lirih dari bibir Lica. Ia merasa benar-benar tertekan dengan keadaan seperti ini, belum lagi akar tersebut sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda akan terputus.

“Lica! Hei, jangan menangis oke? Sekarang kamu cepat pergi dari sini.” ucap Dave. Namun bukannya menuruti perkataan Dave, isak tangis Lica malah semakin tidak terbendung lagi. “Bagaimana bisa kau memintaku untuk meninggalkanmu di sini Dave?!”

Melihat Lica, mau tidak mau Dave harus memutar otak kembali untuk mencari jalan keluar. Setidaknya sampai Lica berhasil menenangkan dirinya. Dave mengedarkan pandangannya, siluet-siluet tubuh makhluk menyeramkan itu semakin jelas terlihat. Jika sudah begini, ia tidak akan bisa beranjak dari tempat ini, terlebih dengan akar pohon yang masih membelit kakinya.

Dave mendekap Lica dan membawa tubuh mereka bersembunyi di antara semak-semak. Dave tidak menghiraukan tatapan bingung Lica, ia hanya diam dan tetap mengawasi keadaan di sekitar mereka. Akar pohon yang masih setia membelit kaki Dave membuatnya kesusahan untuk menggerakkan kakinya. Dave hanya mampu menyeret kakinya sampai benar-benar tertutupi oleh rimbunnya semak-semak.

Dan beruntunglah mereka, langit sudah benar-benar gelap, hanya sedikit cahaya bulan yang berhasil menembus rimbunnya pepohonan di sana. Derap langkah kaki kian terdengar mendekat ke arah Dave dan Lica. Dave semakin mempererat dekapannya dengan satu tangan lainnya ia gunakan untuk membungkam mulut Lica.

Tubuh Lica bergetar hebat, detak jantungnya bersahutan dengan detak jantung Dave. Mereka semakin mendekat dan tiba-tiba berhenti tepat tak jauh dari tempat Lica dan Dave bersembunyi. Mereka berperawakan seperti manusia kebanyakan. Namun tubuh mereka sedikit lebih bungkuk dan mata mereka yang berwarna biru cerah. Jika ada seseorang yang tidak tahu mereka itu makhluk apa, pasti akan langsung terhipnotis oleh mata biru cerah dari makhluk itu.

Mata Lica diselubungi oleh lapisan bening, ia menggenggam erat lengan Dave yang melingkar di bahunya. Air liur makhluk tersebut menetes yang menimbulkan gejolak tak enak di perut Lica. Beberapa menit berlalu begitu saja, dengan keheningan yang mencekam. Makhluk-makhluk itu masih belum beranjak dari tempatnya.

Namun sedetik kemudian, sorot mata Lica tertangkap oleh salah satu dari makhluk itu. Suara geraman terdengar jelas. Bulu kuduk LIca berdiri dan seketika tubuh Lica menegang. Dave yang merasakan gelagat aneh dari Lica, akhirnya ikut melihat ke mana arah pandang Lica. Dan Dave tahu jelas, apa sebabnya. Makhluk itu berjalan perlahan mendekat ke arah semak-semak. Dengan kuku-kuku panjangnya mengarah tepat ke semak-semak di hadapannya. Dan…

SREEKKK!!!

“LIca!!” LIca tersentak dari lamunannya, ia mengalihkan pandangannya dari gelapnya hutan yang terlihat dari jendela besar di hadapannya menjadi ke arah meja kayu di sudut ruangan ini. Bukan, bukan meja kayu yang menjadi perhatiannya, namun seorang pria yang berada di belakangnya.

Lica memutar matanya, kesal. “Dave, bisa tidak sekali saja tidak mengagetkanku?” ucap Lica.
Dave terkekeh, “Maaf, maaf, coba kamu lihat isi buku ini Lica.” tutur Dave seraya menyodorkan sebuah buku ke arah Lica.

Lica mengambilnya dan melihat isi dari buku itu. Buku itu berisi berbagai macam pembahasan tentang Blue Ocean Cannibals atau yang biasa dikenal dengan virus BOC. Ini bukan sembarang virus. Virus ini bisa mengubah manusia menjadi makhluk kanibal yang menjijikkan. Dan virus ini bersifat menular. Hanya terkena satu gigitan saja, sudah bisa mengubah manusia normal menjadi manusia kanibal.

Jika korban yang telah terkena gigitan dan berhasil menjauh dari pemangsanya, ia akan berada di masa transformasi yang akan mengubahnya menjadi sama seperti mereka. Transformasi itu terjadi selama 10 hari. Berawal dari timbulnya titik-titik biru di kornea mata, punggung yang semakin membungkuk dan kuku yang pertumbuhannya menjadi lebih cepat dari biasanya.

Semua itu bisa dihentikan dengan cara menyuntikkan sebuah serum tepat di bagian yang terkena gigitan. Serum itu akan menyebar dan perlahan membunuh virus yang telah lebih dulu menyebar di dalam tubuh korban. Dan membuat korban kembali menjadi manusia normal.

Namun tentu saja, setiap obat akan ada efek samping. Dan efek samping dari serum ini adalah membuat otak dari sang pengguna menjadi kosong. Satu kenyataan pahit kembali hadir di benak Lica. Ibunya memang bisa sembuh, namun ia tidak akan pernah diingat ibunya kembali. Setelah serum itu bekerja, sang ibu akan kembali menjadi seperti bayi yang baru lahir. Tanpa ada ingatan sedikit pun yang membekas. Dan Lica, tidak ingin ibunya melupakannya.

“Aku harus bagaimana Dave?” Suara lirih Lica cukup terdengar oleh Dave yang saat ini tengah duduk di hadapannya.

Dave menatap sendu Lica, yang masih terpaku atas kenyataan pahit yang menghantamnya.
“Ikuti kata hatimu, Lica. Aku yakin, kamu pasti akan menemukan jawaban yang terbaik.”
Lica menggeleng resah, “Aku gak tahu, Dave. Aku bingung. Aku mau Ibu sembuh, tapi aku gak mau dilupakan begitu saja sama Ibu.”

“Lica, apa bedanya Ibu kamu yang saat ini ada dalam masa transformasi dengan Ibu kamu yang sudah disuntikkan serum nantinya? Sama-sama tidak ingat denganmu kan?! Terus bedanya di mana?! kamu mau Ibu kamu berubah menjadi makhluk menjijikkan seperti mereka atau menjadi manusia normal kembali, walaupun berperilaku seperti bayi?” tutur Dave. Air mata Lica, luruh seketika. Lica sulit untuk berpikir jernih. Pikirannya sangat kalut saat ini.

“Seandainya, aku yang ada di posisi kamu saat ini. Aku pasti lebih memilih memberikan serum itu daripada harus melihat Ibuku berubah. Bukan masalah, seandainya Ibuku melupakanku. Karena apa Lica? karena aku percaya. Walaupun Ibu tidak mengingatku, setidaknya hatinya pasti bisa merasakan keberadaanku sebagai anaknya.” ucap Dave berusaha meyakinkan Lica. “Aku gak mau kamu tambah menyesal Lica. Cukup aku dan anak-anak lainnya kehilangan sosok seorang Ibu dengan cara yang tidak wajar seperti ini.”
Isak tangis Lica perlahan mereda, seiring dengan tatapan kosongnya yang kembali menemukan fokusnya. “Dave, ayo kita cari serum itu.” ucap Lica seraya tersenyum lebar ke arah Dave, sebagai tanda bahwa ia telah kembali menemukan setitik harapan.


Hari ketujuh.
Bau busuk begitu menguar di udara pagi ini. Cairan lengket berwarna hijau tersebar di mana-mana. Entah bagaimana kejadiannya, Lica pun tidak tahu. Malam tadi, saat makhluk-makhluk aneh itu menyerang dirinya dan Dave, tiba-tiba ada suara ledakan yang diiringi oleh geraman panjang dari para makhluk itu. Dan bisa dipastikan, dari banyaknya potongan tubuh makhluk kanibal yang tersebar, hal ini sudah dianggap sebagai ‘Pembantaian’.

Sejenak, Lica terpaku menatap keadaan sekitarnya. Dan satu pertanyaan terlintas di benaknya. Bagaimana bisa makhluk itu masuk ke dalam laboratorium pribadi ayahnya? Ia saja sebagai putrinya harus bersusah payah memecahkan sandi di setiap pintu masuknya yang terdiri dari 10 pintu.
 
Laboratorium? Makhluk kanibal? BOC? Dave? SERUM?! seketika Lica tersadar dari keterpakuannya. Ia baru ingat mengapa ia bisa ada di sini. Serum itu, dan dimana Dave sekarang? Lica mengedarkan pandangannya ke setiap jengkal bagian di Laboratorium ini. Dan Lica akhirnya menemukan objek pencariannya. Dave. Ia terduduk di depan lemari kaca dengan mata yang terpejam dan tubuhnya yang terkena cipratan darah makhluk kanibal itu yang berwarna hijau. Tetapi ada sesuatu yang tampak begitu menarik perhatian Lica.

Yaitu sebuah botol berisi cairan berwarna emas yang ada di genggaman Dave.
Segera saja Lica mendekat ke arah Dave dan mengecek keadaan pria itu. Saat ia merasakan hembusan napas Dave dan detak jantungnya, Lica bisa sedikit merasa lega. Rasa haru begitu menusuk di hati Lica. Ia tahu, dan sangat tahu. Malam tadi, Dave begitu berusaha menghabisi makhluk kanibal yang menyerang dirinya hanya untuk mengambil kembali botol tersebut dari genggaman salah satu dari mereka -makhluk kanibal. Walaupun Lica sudah berteriak memperingati Dave untuk ikut berlindung di dalam Box besi bersamanya. Tetapi bukan Dave namanya, jika pria itu menyerah begitu saja tanpa mendapatkan apa yang dia mau.

Setetes cairan bening jatuh di pipi Lica. Dia merasa terenyuh akan sikap Dave yang rela berkorban untuknya. Apa jadinya ia jika tidak ada Dave. Lica mengambil botol itu dari genggaman Dave. Akan tetapi, seketika mata Lica membesar saat ia mendapati lingkaran hitam abstrak sebesar uang logam di punggung tangan kanan Dave. Air mata Lica luruh seketika. Tanda ini sama seperti yang pernah ia lihat di bahu kiri ibunya. Lica segera memeluk Dave dan mulai tenggelam dalam tangisannya. Satu lagi kenyataan pahit yang menimpa dirinya. Dave terinfeksi.

“Lica..” suara Lirih terdengar begitu samar di telinga Lica, tetapi ia tahu itu adalah suara Dave. Lica melepaskan pelukannya dan saat itu juga ia melihat wajah sayu Dave. “Tinggalkan aku di sini Lica, dan pulanglah. Berikan Serum itu ke Ibumu sebelum terlambat.” ucap Dave.
Lica menggeleng. “Gak, aku gak mau Dave. Waktu itu kamu janji kita akan pulang tepat pada hari ketujuh. Dan sekaranglah waktunya. Tapi aku gak mau pulang sendiri. Kita pergi bersama, artinya kita pulang pun bersama , Dave.”

“Tidak mungkin aku bisa ikut kamu pulang Lica. Tidak akan bisa.” lirih Dave.
Lica kembali menggeleng dengan isak tangisnya yang semakin kencang. Tanpa kata ia langsung berdiri dan meraih sebuah alat suntik dari meja kaca di belakangnya. Tangan gadis itu bergetar seriring dengan cairan berwarna emas yang secara perlahan berhasil tersedot ke dalam alat suntik tersebut. Setelah merasa cukup, Lica segera mengarahkan jarum suntik tepat ke tanda di punggung tangan Dave. Tetapi Dave langsung menahan tangan Lica.

“Jangan Lica. Itu untuk Ibumu.”
“Tapi kau harus, Dave! aku tidak mau kau berubah!” jerit Lica.
Dave menarik Lica ke dalam pelukannya dan berusaha menenangkan Lica. Lica pun merasa Deja vu. Langsung saja ia membalas pelukan Dave lebih erat lagi.
“Ya udah kalau gitu, sekarang juga kita pulang sama-sama. Aku akan berusaha tetap sadar sepenuhnya. Tapi kamu harus janji, serum itu harus kamu berikan ke Ibu kamu.”
Walaupun awalnya ragu, akhirnya Lica mengangguk tanpa suara di pelukan Dave.


Langkah tertatih Dave mengiringi perjalanan pulang mereka. Lica dengan setia merangkul Dave, berusaha menopang berat badan pria itu yang hampir dua kali berat badannya. Walaupun begitu, mata mereka tetap waspada memperhatikan keadaan sekitar mereka, berjaga-jaga jika saja makhluk kanibal itu kembali menyerang mereka.

Sinar senja dari timur semakin memperjelas penglihatan mereka akan kota mati yang mereka tinggali. Mereka baru sadar, jika kota yang selama ini mereka banggakan, dalam sekejap berubah menjadi kota yang paling tidak diinginkan. Tidak ada deru suara mobil dan motor di jalan besar. Yang ada hanya jalan kosong dengan banyaknya retakan di atasnya.

Tidak ada bangunan megah nan indah. Yang ada hanya bangunan yang hampir roboh akibat banyaknya tanaman merambat yang mengisi rongga-rongga di dinding bangunan tersebut. Tidak lama kemudian, mereka akhirnya sampai pada sebuah rumah sederhana yang sebenarnya sudah tidak layak lagi untuk ditempati. Pandangan Dave sudah mulai memudar, tapi ia harus menepati janjinya kepada Lica untuk kembali ke rumah ini lagi bersama-sama, sampai gadis itu bertemu ibunya kembali. “Ayo LIca, kita harus cepat. Kau sudah tidak sabar melihat Ibumu sembuh bukan?” ucap Dave.

Lica hanya tersenyum masam mendengarnya dan kembali melanjutkan langkahnya menuju kamar orangtuanya, tempat di mana ia bisa menemukan ibunya. Dave yang berada dalam rangkulan gadis itu sedikit demi sedikit mulai merasakan pandangannya semakin menghitam dan ia yakin ini akibat dari Virus BOC yang telah berhasil sampai di pusat otaknya. Saat membuka pintu kamar di hadapannya, binar mata Lica langsung meredup. Kamar itu kosong. Dan tempat tidur di mana tempat ia terakhir meninggalkan ibunya pun kosong, hanya terlihat tempat tidur dengan titik-titik hijau di atasnya.
“Dave, Ibu hilang.”

Bruuk…
“DAVE!!!”

Tamat

Cerpen Karangan: Annisa Adinda
Facebook: Annisa Adinda

Perjalanan Jomblo Cilacap

Mijon, mijon, mijon… Qua, qua, qua..” Teriak penjual asongan yang baru naik bis jurusan Karangpucung-Cilacap. Aku yang baru saja terlelap langsung terjaga karena suaranya yang nyaring tak ada merdunya sama sekali. “Qua Mbak.” Lelaki paruh baya itu menyodorkan sebotol minuman dingin ke arahku. Aku yang setengah jengkel langsung merogoh kantong celana mencari uang kecil kembalian ojeg tadi. “Terima kasih Mbak, semoga selamat sampai tujuan,” tutur penjual asongan itu sambil membaca tulisan yang ada di kaca mobil. Aku hanya membalas dengan senyum malas.

Sepertinya aku akan melanjutkan tidur yang tertunda, memeluk botol minuman yang ku imajinasikan sebagai lengan sang kekasih. Ya, inilah salah satu akibat kelamaan jomblo. Aku mendengus dalam hati. Duk… “Aaww…,” teriakku saat kepala seakan ditarik dan dipaksa keningku mencium sandaran kursi depan. Bis berderit, penumpang panik sampai ada yang mengeluarkan umpatan. “Woy pir, hati-hati dong kalau ngerem jangan dadakan istri gue lagi hamil besar nih,” teriak penumpang di belakang. Aku membayangkan wajah panik si bapak yang istrinya hamil itu sambil mengelus perut sang istri. Refleks tanganku mengelus perut, dengan mata terpejam seperti menghayati.

“Mbak lapar?” sapa lelaki di sampingku.
“Eh anu apa ya?” Aku menjawabnya gelagapan. Dan, saat melihat pemilik suara itu Yaa Salam ganteng sekali, wajahnya mulus tanpa jerawat tidak seperti aku yang seakan jerawat tumbuh subur ketika tamu bulanan datang seperti saat ini. Hidungnya mancung, rahangnya tegas, dan kulitnya putih. Serta satu lagi, dia berkacamata. Duh Gusti, ini idaman sekali. Sepertinya saat Tuhan menciptakannya Tuhan sedang tersenyum. Dan aku merona.

“Iya pir, hati-hati dong aku belum kawin dan masih jomblo tahu, hargai hak hidup para jomblo dong.” Aku langsung menoleh ke sumber suara. Lelaki tinggi kurus dengan tas ransel yang digendong di depan salah tingkah saat aku melihatnya. Dia menunduk malu, sambil menggaruk-garuk kepala yang aku rasa tidak gatal. Aku hanya mengernyitkan dahi membuat alisku bertaut.

“Syukurlah masih ada jomblo di bus ini,” ucapku pelan, yang aku yakini hanya aku saja yang mendengar.
“Em kenapa Mbak?”

“Eh apa emang tadi aku ngomong apaan ya…” Aku salah tingkah, menunduk malu tak berani melihat. Takut kalau dia melihat wajahku yang seperti kepiting rebus. Lelaki itu kemudian menyodorkan roti. Aku memberanikan diri untuk kembali melihat maha karya Tuhan.

“Oh whaaat!” Aku kaget melihat pemandangan yang di luar dugaan. Ini mimpi atau tadi yang mimpi?
“Kenapa Mbak, tidak suka roti?”

“Bukan itu, tapi… Kenapa berubah, lelaki yang tadi ke mana?” tanyaku kaget dan hampir tidak percaya dengan apa yang baru aku lihat.

“Lelaki mana Mbak, sedari tadi saya di sini dan tidak ke mana-mana.” Dia seakan kebingungan dengan pertanyaanku. Ya Tuhan inikah salah satu akibat dari kelamaan jomblo? Aku mengerjap-ngerjap mata sambil memijat keningku yang tidak sakit.

“Mbak sakit, pusing?” tanyanya sok perhatian.
“Oh tidak apa-apa,” jawabku lemas.

“Oh syukurlah, ini rotinya silahkan dimakan saya mau turun di depan, Mbak hati-hati di jalan semoga kita bertemu lagi ya.” celotehnya panjang penuh harap sambil mengerlingkan matanya yang berbingkai dan menyunggingkan senyum memamerkan gigi taringnya yang tanggal satu alias ompong.

Aku hanya mengangguk tanpa minat. Memasukkan roti ke dalam tas dan kemudian meneguk air mineral. Ah ternyata aku kurang minum hingga hilang fokus dan berimajinasi terlalu tinggi tentang lelaki tua, ompong dan keganjenan itu. Oh arjunaku kapan kau menjadi nyata, tidakkah kau lelah terus hidup dalam dunia fantasiku, Tuhan maafkan aku yang terlalu lama menjomblo ini. Aamiin.

Masih setengah perjalanan lagi untuk sampai di kota kelahiranku, Cilacap. Aku memutuskan untuk tidur, semoga tidak ada gangguan lagi. Dan aku berjanji siapa pun yang mengganggu tidurku tidak akan aku jadikan saudara apalagi pacar! Hujan di luar membuat aku semakin cepat saja menjemput lelapku, tidur.
“Maaf Mbak kursi di sebelahnya kosong kah?” Sayup-sayup aku mendengar suara yang entah ditujukan kepada siapa. Aku tak mengindahkannya, melanjutkan mimpi bertemu ular-ular yang mengitari langkahku.

“Mba, Mbak…”

Illahi Rabbi kesal sekali rasanya setiap tidurku selalu diganggu, aku mengambil tas yang ku simpan di kursi sebelah tanpa membuka mata kemudian memeluknya. Mimpiku buyar, ular-ular itu pergi. Aku melirik ke arah jendela memastikan apakah hujan masih setia ataukah telah berlalu seperti ular-ular dalam mimpiku yang kata orangtua dulu adalah lambang jodoh. Ah ya, maklum kelamaan jomblo jadi mimpi apa pun selalu dikaitkan dan aku suka mimpi barusan. Mata kita beradu, mata yang sangat bening dan meneduhkan. Lebih dari imajinasi pertamaku, seperti Aristokrat!

Dia tersenyum, dan wow! Aku seperti diterbangkan menuju surga imitasi. Karena kalau surga yang asli aku harus mati dulu dan iya kalau masuk surga, lah kalau masuknya ke neraka bagaimana? Ah Ya Allah jauhkan hambaMu ini dari siksa neraka, aamiin. Aku langsung membuka air mineralku dan meminumnya lebih banyak dari sebelumnya. Takut kalau aku gagal fokus lagi. Aku memberanikan diri melihat ke samping kiri dan Ya Tuhan ini benar-benar salah satu ciptaanMu yang indah dan jarang sekali ku temukan. Seperti aktor Korea Lee Min Leho eh maksudnya Lee Min Ho. Matanya terpejam, walau aku melihat hanya dari samping sepertinya dia tersenyum.

Pipiku merona saat aku mengaitkan mimpi barusan dan lelaki di sampingku. Mungkin jodoh! Aku senyum-senyum sendiri, sebelum senyum itu pudar saat aku mengingat janjiku tadi. Aku menggigit bibir, dan menoleh ke arahnya. Sambil berdoa dalam hati, “Ya Tuhan bolehkahaku mencabut janjiku? Ini terlalu ganteng untuk dilewatkan, lihatlah senyum dalam lelapnya menenteramkan sekali. Jadi hamba minta Tuhan semoga Engkau menjodohkan kami, aamiin.” Doa yang terlalu pe-de. Ah siapa tahu Tuhan mengabulkan doa sang jomblo bulukan ini. Berharap dia terjaga dan memulai obrolan sampai akhirnya dia meminta kontak yang bisa dihubungi. Yihaaa… Aku berkahayal lagi!
The End

Cerpen Karangan: DianRa
Facebook: DianRa