Thursday, September 22, 2016

Blue Ocean Cannibal

Mata biru cerah itu terlihat kosong, hanya memandang hampa lempengan besi di hadapannya. Ia tidak bergerak, tidak bernapas dan tidak memiliki detak jantung. Namun sistem otaknya tetap berfungsi, dan menurut ilmu kedokteran, ia dikatakan Hidup.

“Lica, lihatlah! Ayah berhasil. Ayah berhasil membuatnya hidup kembali. Kau tahu artinya Lica? kita tidak akan pernah punah. Kehidupan tidak akan pernah berakhir. Dan bumi ini, akan terus ada untuk selamanya.” seru seorang pria tua berjas putih seraya menggendong putri kecilnya yang masih setia memeluk boneka beruang cokelatnya.

Gadis kecil itu hanya bisa menatap bingung ke arah sang ayah, yang tiada hentinya berbicara. Ia tahu ayahnya sedang bahagia, namun ia tidak tahu ayahnya sedang berbahagia untuk apa.
“Ayah, kenapa dari tadi dia hanya duduk diam di situ?” tanya gadis kecil itu sambil menunjuk seseorang yang berada di dalam sebuah box besi. Sang ayah tidak lantas menjawab pertanyaan putrinya, ia hanya tersenyum penuh arti kepada putrinya dan membisikkan. “Suatu saat nanti, kau pasti akan tahu putriku.”


Lica, dengan tubuh kurusnya, ia duduk meringkuk di sudut kamar orangtuanya. Dari jendela, terlihat jelas bahwa matahari akan segera kembali ke singgasananya dan digantikan oleh Bulan, yang menjadi pertanda dimulainya malam. Lica tidak sendirian di sini. Ia bersama ibunya, namun hanya raganya saja tidak dengan jiwanya.

Jiwa sang ibu telah direnggut paksa oleh sebuah makhluk kasat mata yang menghantui kehidupan kali ini. Pandangan mata Lica tidak hentinya menatap sedih ke arah sang ibu. Memperhatikan secara detail titik-titik biru di bola mata ibunya. Sungguh, ia menyesal telah mengizinkan ibunya ke luar kemarin sore.
BRAAKKK!!

Debuman pintu langsung membuat Lica tersentak dan berdiri. Matanya menatap nyalang ke arah pintu ruangan tersebut yang tidak terkena cahaya sedikit pun. Secara perlahan, ia mengeluarkan sebuah pistol dari saku celananya dan mengarahkannya tepat ke pintu. “Lica! kita harus segera pergi dari sini.” sentak seorang pria yang secara tidak sadar membuat Lica bernapas lega. Namun sekejap kemudian, raut wajah Lica kembali menegang.

“Ada apa Dave? kenapa kita harus pergi dari sini?” tanya Lica.
“Tempat ini sudah tidak lagi aman Lica. Kita harus cepat pergi, kalau tidak mau menjadi seperti mereka.” Jawab Dave. “Tapi bagaimana dengan Ibu? aku tidak bisa meninggalkannya sendiri di sini Dave.”
“Kamu harus bisa, Lica. 7 hari. Aku janji kita akan kembali ke tempat ini bersama dengan solusi atau mungkin apa pun yang bisa mengembalikkan keadaan Ibumu seperti sebelumnya.” ucap Dave yang berusaha meyakinkan Lica.

“Bagaimana jika saat kita kembali, Ibu sudah menjadi seperti mereka?”
“Itu tidak mungkin terjadi, Lica. Masa transformasi itu akan berlangsung selama 10 hari. Dihitung dari hari ini, berarti kita hanya memiliki 9 hari untuk mencari solusi itu.”
Lica masih terlihat ragu, namun saat ia melihat sorot mata Dave yang penuh keyakinan, membuatnya ikut merasa yakin bahwa ia akan berhasil membuat semuanya kembali seperti semula. Terutama ibunya. Lica mengangguk, “Baiklah.”


Deru napas begitu menderu dan saling berbalas satu sama lain. Mereka tidak bisa berhenti. Mereka harus terus berlari dan menjauh dari jangkauan makhluk menyeramkan itu. Sesekali Lica melihat ke belakang, dan masih saja ia menemukan siluet-siluet tubuh manusia bungkuk itu dari kejauhan.

SREEK…

“DAVE!!!” Lica meneriaki Dave, saat melihat Dave jatuh terperosok dengan sebuah akar pohon yang membelit kakinya. Lica mengeluarkan sebuah pisau kecil bermata tajam dari tas pinggangnya, dan mulai mengikis akar pohon yang membelit pergelangan kaki kanan Dave. Lica semakin panik saat suara geraman makhluk itu semakin jelas terdengar. Isak tangis mulai terdengar lirih dari bibir Lica. Ia merasa benar-benar tertekan dengan keadaan seperti ini, belum lagi akar tersebut sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda akan terputus.

“Lica! Hei, jangan menangis oke? Sekarang kamu cepat pergi dari sini.” ucap Dave. Namun bukannya menuruti perkataan Dave, isak tangis Lica malah semakin tidak terbendung lagi. “Bagaimana bisa kau memintaku untuk meninggalkanmu di sini Dave?!”

Melihat Lica, mau tidak mau Dave harus memutar otak kembali untuk mencari jalan keluar. Setidaknya sampai Lica berhasil menenangkan dirinya. Dave mengedarkan pandangannya, siluet-siluet tubuh makhluk menyeramkan itu semakin jelas terlihat. Jika sudah begini, ia tidak akan bisa beranjak dari tempat ini, terlebih dengan akar pohon yang masih membelit kakinya.

Dave mendekap Lica dan membawa tubuh mereka bersembunyi di antara semak-semak. Dave tidak menghiraukan tatapan bingung Lica, ia hanya diam dan tetap mengawasi keadaan di sekitar mereka. Akar pohon yang masih setia membelit kaki Dave membuatnya kesusahan untuk menggerakkan kakinya. Dave hanya mampu menyeret kakinya sampai benar-benar tertutupi oleh rimbunnya semak-semak.

Dan beruntunglah mereka, langit sudah benar-benar gelap, hanya sedikit cahaya bulan yang berhasil menembus rimbunnya pepohonan di sana. Derap langkah kaki kian terdengar mendekat ke arah Dave dan Lica. Dave semakin mempererat dekapannya dengan satu tangan lainnya ia gunakan untuk membungkam mulut Lica.

Tubuh Lica bergetar hebat, detak jantungnya bersahutan dengan detak jantung Dave. Mereka semakin mendekat dan tiba-tiba berhenti tepat tak jauh dari tempat Lica dan Dave bersembunyi. Mereka berperawakan seperti manusia kebanyakan. Namun tubuh mereka sedikit lebih bungkuk dan mata mereka yang berwarna biru cerah. Jika ada seseorang yang tidak tahu mereka itu makhluk apa, pasti akan langsung terhipnotis oleh mata biru cerah dari makhluk itu.

Mata Lica diselubungi oleh lapisan bening, ia menggenggam erat lengan Dave yang melingkar di bahunya. Air liur makhluk tersebut menetes yang menimbulkan gejolak tak enak di perut Lica. Beberapa menit berlalu begitu saja, dengan keheningan yang mencekam. Makhluk-makhluk itu masih belum beranjak dari tempatnya.

Namun sedetik kemudian, sorot mata Lica tertangkap oleh salah satu dari makhluk itu. Suara geraman terdengar jelas. Bulu kuduk LIca berdiri dan seketika tubuh Lica menegang. Dave yang merasakan gelagat aneh dari Lica, akhirnya ikut melihat ke mana arah pandang Lica. Dan Dave tahu jelas, apa sebabnya. Makhluk itu berjalan perlahan mendekat ke arah semak-semak. Dengan kuku-kuku panjangnya mengarah tepat ke semak-semak di hadapannya. Dan…

SREEKKK!!!

“LIca!!” LIca tersentak dari lamunannya, ia mengalihkan pandangannya dari gelapnya hutan yang terlihat dari jendela besar di hadapannya menjadi ke arah meja kayu di sudut ruangan ini. Bukan, bukan meja kayu yang menjadi perhatiannya, namun seorang pria yang berada di belakangnya.

Lica memutar matanya, kesal. “Dave, bisa tidak sekali saja tidak mengagetkanku?” ucap Lica.
Dave terkekeh, “Maaf, maaf, coba kamu lihat isi buku ini Lica.” tutur Dave seraya menyodorkan sebuah buku ke arah Lica.

Lica mengambilnya dan melihat isi dari buku itu. Buku itu berisi berbagai macam pembahasan tentang Blue Ocean Cannibals atau yang biasa dikenal dengan virus BOC. Ini bukan sembarang virus. Virus ini bisa mengubah manusia menjadi makhluk kanibal yang menjijikkan. Dan virus ini bersifat menular. Hanya terkena satu gigitan saja, sudah bisa mengubah manusia normal menjadi manusia kanibal.

Jika korban yang telah terkena gigitan dan berhasil menjauh dari pemangsanya, ia akan berada di masa transformasi yang akan mengubahnya menjadi sama seperti mereka. Transformasi itu terjadi selama 10 hari. Berawal dari timbulnya titik-titik biru di kornea mata, punggung yang semakin membungkuk dan kuku yang pertumbuhannya menjadi lebih cepat dari biasanya.

Semua itu bisa dihentikan dengan cara menyuntikkan sebuah serum tepat di bagian yang terkena gigitan. Serum itu akan menyebar dan perlahan membunuh virus yang telah lebih dulu menyebar di dalam tubuh korban. Dan membuat korban kembali menjadi manusia normal.

Namun tentu saja, setiap obat akan ada efek samping. Dan efek samping dari serum ini adalah membuat otak dari sang pengguna menjadi kosong. Satu kenyataan pahit kembali hadir di benak Lica. Ibunya memang bisa sembuh, namun ia tidak akan pernah diingat ibunya kembali. Setelah serum itu bekerja, sang ibu akan kembali menjadi seperti bayi yang baru lahir. Tanpa ada ingatan sedikit pun yang membekas. Dan Lica, tidak ingin ibunya melupakannya.

“Aku harus bagaimana Dave?” Suara lirih Lica cukup terdengar oleh Dave yang saat ini tengah duduk di hadapannya.

Dave menatap sendu Lica, yang masih terpaku atas kenyataan pahit yang menghantamnya.
“Ikuti kata hatimu, Lica. Aku yakin, kamu pasti akan menemukan jawaban yang terbaik.”
Lica menggeleng resah, “Aku gak tahu, Dave. Aku bingung. Aku mau Ibu sembuh, tapi aku gak mau dilupakan begitu saja sama Ibu.”

“Lica, apa bedanya Ibu kamu yang saat ini ada dalam masa transformasi dengan Ibu kamu yang sudah disuntikkan serum nantinya? Sama-sama tidak ingat denganmu kan?! Terus bedanya di mana?! kamu mau Ibu kamu berubah menjadi makhluk menjijikkan seperti mereka atau menjadi manusia normal kembali, walaupun berperilaku seperti bayi?” tutur Dave. Air mata Lica, luruh seketika. Lica sulit untuk berpikir jernih. Pikirannya sangat kalut saat ini.

“Seandainya, aku yang ada di posisi kamu saat ini. Aku pasti lebih memilih memberikan serum itu daripada harus melihat Ibuku berubah. Bukan masalah, seandainya Ibuku melupakanku. Karena apa Lica? karena aku percaya. Walaupun Ibu tidak mengingatku, setidaknya hatinya pasti bisa merasakan keberadaanku sebagai anaknya.” ucap Dave berusaha meyakinkan Lica. “Aku gak mau kamu tambah menyesal Lica. Cukup aku dan anak-anak lainnya kehilangan sosok seorang Ibu dengan cara yang tidak wajar seperti ini.”
Isak tangis Lica perlahan mereda, seiring dengan tatapan kosongnya yang kembali menemukan fokusnya. “Dave, ayo kita cari serum itu.” ucap Lica seraya tersenyum lebar ke arah Dave, sebagai tanda bahwa ia telah kembali menemukan setitik harapan.


Hari ketujuh.
Bau busuk begitu menguar di udara pagi ini. Cairan lengket berwarna hijau tersebar di mana-mana. Entah bagaimana kejadiannya, Lica pun tidak tahu. Malam tadi, saat makhluk-makhluk aneh itu menyerang dirinya dan Dave, tiba-tiba ada suara ledakan yang diiringi oleh geraman panjang dari para makhluk itu. Dan bisa dipastikan, dari banyaknya potongan tubuh makhluk kanibal yang tersebar, hal ini sudah dianggap sebagai ‘Pembantaian’.

Sejenak, Lica terpaku menatap keadaan sekitarnya. Dan satu pertanyaan terlintas di benaknya. Bagaimana bisa makhluk itu masuk ke dalam laboratorium pribadi ayahnya? Ia saja sebagai putrinya harus bersusah payah memecahkan sandi di setiap pintu masuknya yang terdiri dari 10 pintu.
 
Laboratorium? Makhluk kanibal? BOC? Dave? SERUM?! seketika Lica tersadar dari keterpakuannya. Ia baru ingat mengapa ia bisa ada di sini. Serum itu, dan dimana Dave sekarang? Lica mengedarkan pandangannya ke setiap jengkal bagian di Laboratorium ini. Dan Lica akhirnya menemukan objek pencariannya. Dave. Ia terduduk di depan lemari kaca dengan mata yang terpejam dan tubuhnya yang terkena cipratan darah makhluk kanibal itu yang berwarna hijau. Tetapi ada sesuatu yang tampak begitu menarik perhatian Lica.

Yaitu sebuah botol berisi cairan berwarna emas yang ada di genggaman Dave.
Segera saja Lica mendekat ke arah Dave dan mengecek keadaan pria itu. Saat ia merasakan hembusan napas Dave dan detak jantungnya, Lica bisa sedikit merasa lega. Rasa haru begitu menusuk di hati Lica. Ia tahu, dan sangat tahu. Malam tadi, Dave begitu berusaha menghabisi makhluk kanibal yang menyerang dirinya hanya untuk mengambil kembali botol tersebut dari genggaman salah satu dari mereka -makhluk kanibal. Walaupun Lica sudah berteriak memperingati Dave untuk ikut berlindung di dalam Box besi bersamanya. Tetapi bukan Dave namanya, jika pria itu menyerah begitu saja tanpa mendapatkan apa yang dia mau.

Setetes cairan bening jatuh di pipi Lica. Dia merasa terenyuh akan sikap Dave yang rela berkorban untuknya. Apa jadinya ia jika tidak ada Dave. Lica mengambil botol itu dari genggaman Dave. Akan tetapi, seketika mata Lica membesar saat ia mendapati lingkaran hitam abstrak sebesar uang logam di punggung tangan kanan Dave. Air mata Lica luruh seketika. Tanda ini sama seperti yang pernah ia lihat di bahu kiri ibunya. Lica segera memeluk Dave dan mulai tenggelam dalam tangisannya. Satu lagi kenyataan pahit yang menimpa dirinya. Dave terinfeksi.

“Lica..” suara Lirih terdengar begitu samar di telinga Lica, tetapi ia tahu itu adalah suara Dave. Lica melepaskan pelukannya dan saat itu juga ia melihat wajah sayu Dave. “Tinggalkan aku di sini Lica, dan pulanglah. Berikan Serum itu ke Ibumu sebelum terlambat.” ucap Dave.
Lica menggeleng. “Gak, aku gak mau Dave. Waktu itu kamu janji kita akan pulang tepat pada hari ketujuh. Dan sekaranglah waktunya. Tapi aku gak mau pulang sendiri. Kita pergi bersama, artinya kita pulang pun bersama , Dave.”

“Tidak mungkin aku bisa ikut kamu pulang Lica. Tidak akan bisa.” lirih Dave.
Lica kembali menggeleng dengan isak tangisnya yang semakin kencang. Tanpa kata ia langsung berdiri dan meraih sebuah alat suntik dari meja kaca di belakangnya. Tangan gadis itu bergetar seriring dengan cairan berwarna emas yang secara perlahan berhasil tersedot ke dalam alat suntik tersebut. Setelah merasa cukup, Lica segera mengarahkan jarum suntik tepat ke tanda di punggung tangan Dave. Tetapi Dave langsung menahan tangan Lica.

“Jangan Lica. Itu untuk Ibumu.”
“Tapi kau harus, Dave! aku tidak mau kau berubah!” jerit Lica.
Dave menarik Lica ke dalam pelukannya dan berusaha menenangkan Lica. Lica pun merasa Deja vu. Langsung saja ia membalas pelukan Dave lebih erat lagi.
“Ya udah kalau gitu, sekarang juga kita pulang sama-sama. Aku akan berusaha tetap sadar sepenuhnya. Tapi kamu harus janji, serum itu harus kamu berikan ke Ibu kamu.”
Walaupun awalnya ragu, akhirnya Lica mengangguk tanpa suara di pelukan Dave.


Langkah tertatih Dave mengiringi perjalanan pulang mereka. Lica dengan setia merangkul Dave, berusaha menopang berat badan pria itu yang hampir dua kali berat badannya. Walaupun begitu, mata mereka tetap waspada memperhatikan keadaan sekitar mereka, berjaga-jaga jika saja makhluk kanibal itu kembali menyerang mereka.

Sinar senja dari timur semakin memperjelas penglihatan mereka akan kota mati yang mereka tinggali. Mereka baru sadar, jika kota yang selama ini mereka banggakan, dalam sekejap berubah menjadi kota yang paling tidak diinginkan. Tidak ada deru suara mobil dan motor di jalan besar. Yang ada hanya jalan kosong dengan banyaknya retakan di atasnya.

Tidak ada bangunan megah nan indah. Yang ada hanya bangunan yang hampir roboh akibat banyaknya tanaman merambat yang mengisi rongga-rongga di dinding bangunan tersebut. Tidak lama kemudian, mereka akhirnya sampai pada sebuah rumah sederhana yang sebenarnya sudah tidak layak lagi untuk ditempati. Pandangan Dave sudah mulai memudar, tapi ia harus menepati janjinya kepada Lica untuk kembali ke rumah ini lagi bersama-sama, sampai gadis itu bertemu ibunya kembali. “Ayo LIca, kita harus cepat. Kau sudah tidak sabar melihat Ibumu sembuh bukan?” ucap Dave.

Lica hanya tersenyum masam mendengarnya dan kembali melanjutkan langkahnya menuju kamar orangtuanya, tempat di mana ia bisa menemukan ibunya. Dave yang berada dalam rangkulan gadis itu sedikit demi sedikit mulai merasakan pandangannya semakin menghitam dan ia yakin ini akibat dari Virus BOC yang telah berhasil sampai di pusat otaknya. Saat membuka pintu kamar di hadapannya, binar mata Lica langsung meredup. Kamar itu kosong. Dan tempat tidur di mana tempat ia terakhir meninggalkan ibunya pun kosong, hanya terlihat tempat tidur dengan titik-titik hijau di atasnya.
“Dave, Ibu hilang.”

Bruuk…
“DAVE!!!”

Tamat

Cerpen Karangan: Annisa Adinda
Facebook: Annisa Adinda

No comments:

Post a Comment