Mata biru cerah itu terlihat kosong, hanya memandang hampa lempengan
besi di hadapannya. Ia tidak bergerak, tidak bernapas dan tidak memiliki
detak jantung. Namun sistem otaknya tetap berfungsi, dan menurut ilmu
kedokteran, ia dikatakan Hidup.
“Lica, lihatlah! Ayah berhasil. Ayah berhasil membuatnya hidup
kembali. Kau tahu artinya Lica? kita tidak akan pernah punah. Kehidupan
tidak akan pernah berakhir. Dan bumi ini, akan terus ada untuk
selamanya.” seru seorang pria tua berjas putih seraya menggendong putri
kecilnya yang masih setia memeluk boneka beruang cokelatnya.
Gadis kecil
itu hanya bisa menatap bingung ke arah sang ayah, yang tiada hentinya
berbicara. Ia tahu ayahnya sedang bahagia, namun ia tidak tahu ayahnya
sedang berbahagia untuk apa.
“Ayah, kenapa dari tadi dia hanya duduk diam di situ?” tanya gadis
kecil itu sambil menunjuk seseorang yang berada di dalam sebuah box
besi. Sang ayah tidak lantas menjawab pertanyaan putrinya, ia hanya
tersenyum penuh arti kepada putrinya dan membisikkan. “Suatu saat nanti,
kau pasti akan tahu putriku.”
—
Lica, dengan tubuh kurusnya, ia duduk meringkuk di sudut kamar
orangtuanya. Dari jendela, terlihat jelas bahwa matahari akan segera
kembali ke singgasananya dan digantikan oleh Bulan, yang menjadi
pertanda dimulainya malam. Lica tidak sendirian di sini. Ia bersama
ibunya, namun hanya raganya saja tidak dengan jiwanya.
Jiwa sang ibu
telah direnggut paksa oleh sebuah makhluk kasat mata yang menghantui
kehidupan kali ini. Pandangan mata Lica tidak hentinya menatap sedih ke
arah sang ibu. Memperhatikan secara detail titik-titik biru di bola mata
ibunya. Sungguh, ia menyesal telah mengizinkan ibunya ke luar kemarin
sore.
BRAAKKK!!
Debuman pintu langsung membuat Lica tersentak dan berdiri. Matanya
menatap nyalang ke arah pintu ruangan tersebut yang tidak terkena cahaya
sedikit pun. Secara perlahan, ia mengeluarkan sebuah pistol dari saku
celananya dan mengarahkannya tepat ke pintu. “Lica! kita harus segera
pergi dari sini.” sentak seorang pria yang secara tidak sadar membuat
Lica bernapas lega. Namun sekejap kemudian, raut wajah Lica kembali
menegang.
“Ada apa Dave? kenapa kita harus pergi dari sini?” tanya Lica.
“Tempat ini sudah tidak lagi aman Lica. Kita harus cepat pergi, kalau
tidak mau menjadi seperti mereka.” Jawab Dave. “Tapi bagaimana dengan
Ibu? aku tidak bisa meninggalkannya sendiri di sini Dave.”
“Kamu harus bisa, Lica. 7 hari. Aku janji kita akan kembali ke tempat
ini bersama dengan solusi atau mungkin apa pun yang bisa mengembalikkan
keadaan Ibumu seperti sebelumnya.” ucap Dave yang berusaha meyakinkan
Lica.
“Bagaimana jika saat kita kembali, Ibu sudah menjadi seperti mereka?”
“Itu tidak mungkin terjadi, Lica. Masa transformasi itu akan berlangsung
selama 10 hari. Dihitung dari hari ini, berarti kita hanya memiliki 9
hari untuk mencari solusi itu.”
Lica masih terlihat ragu, namun saat ia melihat sorot mata Dave yang
penuh keyakinan, membuatnya ikut merasa yakin bahwa ia akan berhasil
membuat semuanya kembali seperti semula. Terutama ibunya. Lica
mengangguk, “Baiklah.”
—
Deru napas begitu menderu dan saling berbalas satu sama lain. Mereka
tidak bisa berhenti. Mereka harus terus berlari dan menjauh dari
jangkauan makhluk menyeramkan itu. Sesekali Lica melihat ke belakang,
dan masih saja ia menemukan siluet-siluet tubuh manusia bungkuk itu dari
kejauhan.
SREEK…
“DAVE!!!” Lica meneriaki Dave, saat melihat Dave jatuh terperosok
dengan sebuah akar pohon yang membelit kakinya. Lica mengeluarkan sebuah
pisau kecil bermata tajam dari tas pinggangnya, dan mulai mengikis akar
pohon yang membelit pergelangan kaki kanan Dave. Lica semakin panik
saat suara geraman makhluk itu semakin jelas terdengar. Isak tangis
mulai terdengar lirih dari bibir Lica. Ia merasa benar-benar tertekan
dengan keadaan seperti ini, belum lagi akar tersebut sama sekali tidak
menunjukkan tanda-tanda akan terputus.
“Lica! Hei, jangan menangis oke? Sekarang kamu cepat pergi dari
sini.” ucap Dave. Namun bukannya menuruti perkataan Dave, isak tangis
Lica malah semakin tidak terbendung lagi. “Bagaimana bisa kau memintaku
untuk meninggalkanmu di sini Dave?!”
Melihat Lica, mau tidak mau Dave harus memutar otak kembali untuk
mencari jalan keluar. Setidaknya sampai Lica berhasil menenangkan
dirinya. Dave mengedarkan pandangannya, siluet-siluet tubuh makhluk
menyeramkan itu semakin jelas terlihat. Jika sudah begini, ia tidak akan
bisa beranjak dari tempat ini, terlebih dengan akar pohon yang masih
membelit kakinya.
Dave mendekap Lica dan membawa tubuh mereka
bersembunyi di antara semak-semak. Dave tidak menghiraukan tatapan
bingung Lica, ia hanya diam dan tetap mengawasi keadaan di sekitar
mereka. Akar pohon yang masih setia membelit kaki Dave membuatnya
kesusahan untuk menggerakkan kakinya. Dave hanya mampu menyeret kakinya
sampai benar-benar tertutupi oleh rimbunnya semak-semak.
Dan beruntunglah mereka, langit sudah benar-benar gelap, hanya
sedikit cahaya bulan yang berhasil menembus rimbunnya pepohonan di sana.
Derap langkah kaki kian terdengar mendekat ke arah Dave dan Lica. Dave
semakin mempererat dekapannya dengan satu tangan lainnya ia gunakan
untuk membungkam mulut Lica.
Tubuh Lica bergetar hebat, detak jantungnya
bersahutan dengan detak jantung Dave. Mereka semakin mendekat dan
tiba-tiba berhenti tepat tak jauh dari tempat Lica dan Dave bersembunyi.
Mereka berperawakan seperti manusia kebanyakan. Namun tubuh mereka
sedikit lebih bungkuk dan mata mereka yang berwarna biru cerah. Jika ada
seseorang yang tidak tahu mereka itu makhluk apa, pasti akan langsung
terhipnotis oleh mata biru cerah dari makhluk itu.
Mata Lica diselubungi oleh lapisan bening, ia menggenggam erat lengan
Dave yang melingkar di bahunya. Air liur makhluk tersebut menetes yang
menimbulkan gejolak tak enak di perut Lica. Beberapa menit berlalu
begitu saja, dengan keheningan yang mencekam. Makhluk-makhluk itu masih
belum beranjak dari tempatnya.
Namun sedetik kemudian, sorot mata Lica
tertangkap oleh salah satu dari makhluk itu. Suara geraman terdengar
jelas. Bulu kuduk LIca berdiri dan seketika tubuh Lica menegang. Dave
yang merasakan gelagat aneh dari Lica, akhirnya ikut melihat ke mana
arah pandang Lica. Dan Dave tahu jelas, apa sebabnya. Makhluk itu
berjalan perlahan mendekat ke arah semak-semak. Dengan kuku-kuku
panjangnya mengarah tepat ke semak-semak di hadapannya. Dan…
SREEKKK!!!
“LIca!!” LIca tersentak dari lamunannya, ia mengalihkan pandangannya
dari gelapnya hutan yang terlihat dari jendela besar di hadapannya
menjadi ke arah meja kayu di sudut ruangan ini. Bukan, bukan meja kayu
yang menjadi perhatiannya, namun seorang pria yang berada di
belakangnya.
Lica memutar matanya, kesal. “Dave, bisa tidak sekali saja tidak mengagetkanku?” ucap Lica.
Dave terkekeh, “Maaf, maaf, coba kamu lihat isi buku ini Lica.” tutur Dave seraya menyodorkan sebuah buku ke arah Lica.
Lica mengambilnya dan melihat isi dari buku itu. Buku itu berisi
berbagai macam pembahasan tentang Blue Ocean Cannibals atau yang biasa
dikenal dengan virus BOC. Ini bukan sembarang virus. Virus ini bisa
mengubah manusia menjadi makhluk kanibal yang menjijikkan. Dan virus ini
bersifat menular. Hanya terkena satu gigitan saja, sudah bisa mengubah
manusia normal menjadi manusia kanibal.
Jika korban yang telah terkena
gigitan dan berhasil menjauh dari pemangsanya, ia akan berada di masa
transformasi yang akan mengubahnya menjadi sama seperti mereka.
Transformasi itu terjadi selama 10 hari. Berawal dari timbulnya
titik-titik biru di kornea mata, punggung yang semakin membungkuk dan
kuku yang pertumbuhannya menjadi lebih cepat dari biasanya.
Semua itu bisa dihentikan dengan cara menyuntikkan sebuah serum tepat
di bagian yang terkena gigitan. Serum itu akan menyebar dan perlahan
membunuh virus yang telah lebih dulu menyebar di dalam tubuh korban. Dan
membuat korban kembali menjadi manusia normal.
Namun tentu saja, setiap
obat akan ada efek samping. Dan efek samping dari serum ini adalah
membuat otak dari sang pengguna menjadi kosong. Satu kenyataan pahit
kembali hadir di benak Lica. Ibunya memang bisa sembuh, namun ia tidak
akan pernah diingat ibunya kembali. Setelah serum itu bekerja, sang ibu
akan kembali menjadi seperti bayi yang baru lahir. Tanpa ada ingatan
sedikit pun yang membekas. Dan Lica, tidak ingin ibunya melupakannya.
“Aku harus bagaimana Dave?” Suara lirih Lica cukup terdengar oleh Dave yang saat ini tengah duduk di hadapannya.
Dave menatap sendu Lica, yang masih terpaku atas kenyataan pahit yang menghantamnya.
“Ikuti kata hatimu, Lica. Aku yakin, kamu pasti akan menemukan jawaban yang terbaik.”
Lica menggeleng resah, “Aku gak tahu, Dave. Aku bingung. Aku mau Ibu sembuh, tapi aku gak mau dilupakan begitu saja sama Ibu.”
“Lica, apa bedanya Ibu kamu yang saat ini ada dalam masa transformasi
dengan Ibu kamu yang sudah disuntikkan serum nantinya? Sama-sama tidak
ingat denganmu kan?! Terus bedanya di mana?! kamu mau Ibu kamu berubah
menjadi makhluk menjijikkan seperti mereka atau menjadi manusia normal
kembali, walaupun berperilaku seperti bayi?” tutur Dave. Air mata Lica,
luruh seketika. Lica sulit untuk berpikir jernih. Pikirannya sangat
kalut saat ini.
“Seandainya, aku yang ada di posisi kamu saat ini. Aku pasti lebih
memilih memberikan serum itu daripada harus melihat Ibuku berubah. Bukan
masalah, seandainya Ibuku melupakanku. Karena apa Lica? karena aku
percaya. Walaupun Ibu tidak mengingatku, setidaknya hatinya pasti bisa
merasakan keberadaanku sebagai anaknya.” ucap Dave berusaha meyakinkan
Lica. “Aku gak mau kamu tambah menyesal Lica. Cukup aku dan anak-anak
lainnya kehilangan sosok seorang Ibu dengan cara yang tidak wajar
seperti ini.”
Isak tangis Lica perlahan mereda, seiring dengan tatapan kosongnya yang
kembali menemukan fokusnya. “Dave, ayo kita cari serum itu.” ucap Lica
seraya tersenyum lebar ke arah Dave, sebagai tanda bahwa ia telah
kembali menemukan setitik harapan.
—
Hari ketujuh.
Bau busuk begitu menguar di udara pagi ini. Cairan lengket berwarna
hijau tersebar di mana-mana. Entah bagaimana kejadiannya, Lica pun tidak
tahu. Malam tadi, saat makhluk-makhluk aneh itu menyerang dirinya dan
Dave, tiba-tiba ada suara ledakan yang diiringi oleh geraman panjang
dari para makhluk itu. Dan bisa dipastikan, dari banyaknya potongan
tubuh makhluk kanibal yang tersebar, hal ini sudah dianggap sebagai
‘Pembantaian’.
Sejenak, Lica terpaku menatap keadaan sekitarnya. Dan
satu pertanyaan terlintas di benaknya. Bagaimana bisa makhluk itu masuk
ke dalam laboratorium pribadi ayahnya? Ia saja sebagai putrinya harus
bersusah payah memecahkan sandi di setiap pintu masuknya yang terdiri
dari 10 pintu.
Laboratorium? Makhluk kanibal? BOC? Dave? SERUM?! seketika Lica
tersadar dari keterpakuannya. Ia baru ingat mengapa ia bisa ada di sini.
Serum itu, dan dimana Dave sekarang? Lica mengedarkan pandangannya ke
setiap jengkal bagian di Laboratorium ini. Dan Lica akhirnya menemukan
objek pencariannya. Dave. Ia terduduk di depan lemari kaca dengan mata
yang terpejam dan tubuhnya yang terkena cipratan darah makhluk kanibal
itu yang berwarna hijau. Tetapi ada sesuatu yang tampak begitu menarik
perhatian Lica.
Yaitu sebuah botol berisi cairan berwarna emas yang ada
di genggaman Dave.
Segera saja Lica mendekat ke arah Dave dan mengecek keadaan pria itu.
Saat ia merasakan hembusan napas Dave dan detak jantungnya, Lica bisa
sedikit merasa lega. Rasa haru begitu menusuk di hati Lica. Ia tahu, dan
sangat tahu. Malam tadi, Dave begitu berusaha menghabisi makhluk
kanibal yang menyerang dirinya hanya untuk mengambil kembali botol
tersebut dari genggaman salah satu dari mereka -makhluk kanibal.
Walaupun Lica sudah berteriak memperingati Dave untuk ikut berlindung di
dalam Box besi bersamanya. Tetapi bukan Dave namanya, jika pria itu
menyerah begitu saja tanpa mendapatkan apa yang dia mau.
Setetes cairan bening jatuh di pipi Lica. Dia merasa terenyuh akan
sikap Dave yang rela berkorban untuknya. Apa jadinya ia jika tidak ada
Dave. Lica mengambil botol itu dari genggaman Dave. Akan tetapi,
seketika mata Lica membesar saat ia mendapati lingkaran hitam abstrak
sebesar uang logam di punggung tangan kanan Dave. Air mata Lica luruh
seketika. Tanda ini sama seperti yang pernah ia lihat di bahu kiri
ibunya. Lica segera memeluk Dave dan mulai tenggelam dalam tangisannya.
Satu lagi kenyataan pahit yang menimpa dirinya. Dave terinfeksi.
“Lica..” suara Lirih terdengar begitu samar di telinga Lica, tetapi
ia tahu itu adalah suara Dave. Lica melepaskan pelukannya dan saat itu
juga ia melihat wajah sayu Dave. “Tinggalkan aku di sini Lica, dan
pulanglah. Berikan Serum itu ke Ibumu sebelum terlambat.” ucap Dave.
Lica menggeleng. “Gak, aku gak mau Dave. Waktu itu kamu janji kita akan
pulang tepat pada hari ketujuh. Dan sekaranglah waktunya. Tapi aku gak
mau pulang sendiri. Kita pergi bersama, artinya kita pulang pun bersama ,
Dave.”
“Tidak mungkin aku bisa ikut kamu pulang Lica. Tidak akan bisa.” lirih Dave.
Lica kembali menggeleng dengan isak tangisnya yang semakin kencang.
Tanpa kata ia langsung berdiri dan meraih sebuah alat suntik dari meja
kaca di belakangnya. Tangan gadis itu bergetar seriring dengan cairan
berwarna emas yang secara perlahan berhasil tersedot ke dalam alat
suntik tersebut. Setelah merasa cukup, Lica segera mengarahkan jarum
suntik tepat ke tanda di punggung tangan Dave. Tetapi Dave langsung
menahan tangan Lica.
“Jangan Lica. Itu untuk Ibumu.”
“Tapi kau harus, Dave! aku tidak mau kau berubah!” jerit Lica.
Dave menarik Lica ke dalam pelukannya dan berusaha menenangkan Lica.
Lica pun merasa Deja vu. Langsung saja ia membalas pelukan Dave lebih
erat lagi.
“Ya udah kalau gitu, sekarang juga kita pulang sama-sama. Aku akan
berusaha tetap sadar sepenuhnya. Tapi kamu harus janji, serum itu harus
kamu berikan ke Ibu kamu.”
Walaupun awalnya ragu, akhirnya Lica mengangguk tanpa suara di pelukan Dave.
—
Langkah tertatih Dave mengiringi perjalanan pulang mereka. Lica
dengan setia merangkul Dave, berusaha menopang berat badan pria itu yang
hampir dua kali berat badannya. Walaupun begitu, mata mereka tetap
waspada memperhatikan keadaan sekitar mereka, berjaga-jaga jika saja
makhluk kanibal itu kembali menyerang mereka.
Sinar senja dari timur
semakin memperjelas penglihatan mereka akan kota mati yang mereka
tinggali. Mereka baru sadar, jika kota yang selama ini mereka banggakan,
dalam sekejap berubah menjadi kota yang paling tidak diinginkan. Tidak
ada deru suara mobil dan motor di jalan besar. Yang ada hanya jalan
kosong dengan banyaknya retakan di atasnya.
Tidak ada bangunan megah nan indah. Yang ada hanya bangunan yang
hampir roboh akibat banyaknya tanaman merambat yang mengisi
rongga-rongga di dinding bangunan tersebut. Tidak lama kemudian, mereka
akhirnya sampai pada sebuah rumah sederhana yang sebenarnya sudah tidak
layak lagi untuk ditempati. Pandangan Dave sudah mulai memudar, tapi ia
harus menepati janjinya kepada Lica untuk kembali ke rumah ini lagi
bersama-sama, sampai gadis itu bertemu ibunya kembali. “Ayo LIca, kita
harus cepat. Kau sudah tidak sabar melihat Ibumu sembuh bukan?” ucap
Dave.
Lica hanya tersenyum masam mendengarnya dan kembali melanjutkan
langkahnya menuju kamar orangtuanya, tempat di mana ia bisa menemukan
ibunya. Dave yang berada dalam rangkulan gadis itu sedikit demi sedikit
mulai merasakan pandangannya semakin menghitam dan ia yakin ini akibat
dari Virus BOC yang telah berhasil sampai di pusat otaknya. Saat membuka
pintu kamar di hadapannya, binar mata Lica langsung meredup. Kamar itu
kosong. Dan tempat tidur di mana tempat ia terakhir meninggalkan ibunya
pun kosong, hanya terlihat tempat tidur dengan titik-titik hijau di
atasnya.
“Dave, Ibu hilang.”
Bruuk…
“DAVE!!!”
Tamat
Cerpen Karangan: Annisa Adinda
Facebook: Annisa Adinda
No comments:
Post a Comment