Thursday, September 22, 2016

Kisah Sebuah Saung Tua

Di sebuah lapangan yang luas di Desa Asri, tampak pemandangan yang tak asing lagi bagi warga sekitar. Apalagi kalau bukan anak-anak yang bermain dengan riang di saat sore hari? Ya, sudah menjadi rutinitas anak-anak di sana, bermain di saat sabtu sore, di tengah pemandangan yang begitu indah. Bahkan, Rini -seorang anak perempuan yang baru saja menetap di Desa Asri sebulan lalu- turut bergembira bersama kedua temannya, Aci dan Yana.
“Uh… capenya,” keluh Rini sambil mengusap peluh yang bercucuran dari dahinya. Ia lalu melihat sekelilingnya. Dilihatnya sebuah saung yang terletak di pinggir lapangan. Saung itu memang nampak tua, tetapi cukup lapang untuk beberapa orang. “Oh ya, Rin, Ci, aku balik dulu, ya. Soalnya, bentar lagi, aku mau pergi ke rumah Tanteku. Dah!” Yana segera berbalik arah meninggalkan Rini dan Aci yang masih kelelahan.
“Dah, juga, Yan. Besok main lagi, ya!” balas Rini dan Aci.
“Oh ya, Ci. Duduk-duduk di sana, yuk! Kayaknya enak, tuh,” ajak Rini seraya menunjuk saung yang tadi dilihatnya.
Aci memperhatikan baik saung yang tadi ditunjuk Rini. Matanya tiba-tiba membulat. “Eh, jangan, Rin!” cegah Aci sembari menarik lengan Rini yang hendak berbalik arah. Ia lalu menuntun Rini ke sebuah bangku yang terletak di bawah pohon mangga. “Kenapa, Ci?” tanya Rini saat mereka sudah duduk.
Aci menghela napasnya. “Aku mau cerita tentang saung itu sama kamu. Kamu, kan, belum terlalu tahu sama apa yang ada di sini. Saung itu… angker, loh,” Aci memulai ceritanya.
Rini terbelalak kaget. Tiba-tiba… “Hahaha..” tawanya meledak. “Saung angker? Cerita zaman kapan, Ci?” Rini sama sekali tidak percaya dengan cerita Aci. “Yang ku tahu, sesuatu yang angker itu hotel, gedung tua, sekolah, asrama, rumah sakit, atau… bangunan lainnya. Ini, saung! Hahaha..” Rini masih saja tertawa-tawa.
“Yang benar saja, kamu, Ci?” lanjutnya. Aci mengangguk mantap.
“Kalau kamu nggak percaya, nggak apa,” cibirnya.
“Ya, udah. Cerita aja. Kayaknya, kasihan kamunya,” ledek Rini geli.
“Dulu, beberapa tahun yang lalu, di sini ada seorang kakek-kakek tua, namanya Kakek Yo. Dia itu tinggal di saung itu karena nggak punya rumah. Di suatu malam, tepatnya Sabtu malam, terjadi kecelakaan yang menewaskan Kakek Yo. Ceritanya begini… malam itu, Kakek Yo berjalan turun dari saungnya. Tiba-tiba saja ada mobil berkecepatan tinggi melaju menuju jalan yang dilalui Kakek Yo, dan mobil itu langsung menabrak Kakek Yo. Kakek malang itu langsung terlempar ke arah saungnya. Sementara mobil itu langsung meninggalkan Kakek Yo yang tergeletak di saung. Jadilah saung itu angker. Warga sekitar sini pun awalnya tak ada yang tahu. Mereka baru mengetahui kejadian itu keesokan harinya, ketika melihat kamera pengintai yang terpasang,” cerita Aci panjang lebar.
“Terus, terus?” tanya Rini penasaran. Nampaknya, ia mulai tertarik dengan cerita Aci.
“Kamu tahu nggak, Rin? Di saung itu sering terjadi penampakan. Dan, yang paling sering terjadi ketika sabtu malam,” terang Aci lanjut.
“Penampakannya seperti apa, Ci?”
“Biasanya, malam-malam, warga sekitar sering melihat seorang kakek duduk lemas di saung itu. Tapi, setelah dilihat lagi, kakeknya ngilang. Sama satu lagi, kalau ada mobil melintas di jalan depan saung itu, para pengemudi mobil selalu melihat seorang kakek tua yang menyetop mobil mereka. Namun, kalau mereka ke luar dari mobil untuk melihat lagi, ataupun kalau mereka mengelakson, kakek itu sudah nggak ada lagi, Rin. Sama ini yang paling angker, loh, Rin. Ada, loh, penghuni baru yang baru pindah ke sini. Nggak tahunya, dia malah duduk-duduk di saung itu. Tiba-tiba saja dia diseret oleh kakek tua. Terus, dia berteriak minta tolong. Namun, setelah warga menuju ke sana, orang itu sudah tergeletak tak berdaya. Terus, setelah sadar, orang itu menceritakan semua yang ia alami. Dan… kamu tahulah, Rin. Saung itu memang angker. Bertahun sudah saung itu tak pernah diduduki,” jelas Aci panjang lebar.
“Ih… serem banget!” sahut Rini sambil bergididk ngeri.
“Iya, Rin,” balas Aci singkat.
Rini berpikir sejenak. Tiba-tiba ia tersenyum sendiri. “Ci, gimana kalau kita nanti malam selidiki saung itu. Hmm… kayak yang di TV-TV itu, loh. Ya… daripada kita masih penasaran, sekali-kali nyoba aja, deh,” usul Rini. Aci terbelalak kaget.
“Serius kamu, Rin? Bukannya aku takut sih, tapi… nanti malam, kan, sabtu malam. Ingat kecelakaan itu, kan? Ngeri, deh,” tolak Aci sambil menatap saung itu.
“Ah, nggak apa-apa, kok, Ci. Nanti malam, lapangan pasti ramai. Tenang aja, kok. Kalau kamu mau, kamu boleh, kok, ajak kakakmu, Kak Nila,” tutur Rini berharap-harap.
“Aku bimbang, deh, Rin.” Raut wajah Aci masih ragu-ragu.
“Plis banget, Ci. Plis, deh,” pinta Rini memohon-mohon.
“Oke, deh. Sebenarnya, aku juga, sih, penasaran. Nanti, jam sembilan, ketemuan di sini, ya!” akhirnya Aci menyetujui usulan Rini.
“Nah, gitu, dong, Ci. Baru sahabatku.” Rini merangkul Aci.
“Oya, nanti kamu bawa handycam, ya! Biar seru. Aku bawa senter aja,” ujar Aci. Rini mengangguk.

Sabtu malam itu, lapangan Desa Asri tampak ramai. Memang, setiap Sabtu malam, ada banyak permainan anak yang mengasyikkan. Selain itu, Desa Asri yang setiap malamnya sunyi dan sepi, malam itu penuh kelap-kelip. Rini, Aci, dan Nila sudah siap untuk memulai misi menegangkan mereka. Menyelidiki saung tua yang dianggap angker bagi warga setempat. Mungkin saja, malam itu tak seseram apa yang dibayangkan. Hiruk pikuk keceriaan anak-anak, aneka lampu berwarna-warni dan berkelap-kelip, dan bulan purnama yang bersinar terang, nyaris membuat Rini, Aci dan Nila tidak membuat takut akan apa yang mereka lakukan.
“Itu saungnya!” tunjuk Aci pada saung tua itu.
“Aku heran banget, Ci. Entah ini tanggapanku atau bukan, saung itu terlihat lebih seram dan punya aura mistis dibanding tadi sore,” ujar Rini serius.
“Kamu benar, Rin. Yuk, jalan!” Kak Nila mengomando.
Mereka bertiga lalu berjalan menuju saung itu. Saat ini, jarak antara mereka dengan saung itu kurang lebih 20 meter. Tetapi, mereka sudah ketakutan, seolah-olah, mereka berada tepat di depan saung itu. “Aku merasa ini mengerikan sekali. Padahal, kita juga masih berjalan. Memang benar, ini tempat ternyata seram amat!” komentar Kak Nila seraya bergidik ngeri. Rini menyuting sekelilingnya dengan handycam miliknya. Tiba-tiba saja, kameranya menangkap bayangan yang berlalu seperti kilat.
“Hei? Apa tadi?” Rini terbelalak kaget. Ia memperhatikan dengan seksama sekelilingnya. Seketika, pikirannya mulai dihinggapi rasa takut bercampur penasaran.
“Kenapa, Rin?” tanya Aci heran. Dia memegang pundak Rini.
“Kok, aku ngerasa ada yang lewat, ya, tadi? Tapi, aku masih belum sadar. Firasatku, ada yang nggak beres, nih.” Rini mengelus-elus dadanya.
“Hmm… aneh juga. Tapi, nggak apa, Rin. Nggak usah takut, kok. Atau, mungkin itu cuma feeling-mu aja. Jangan khawatir.” Kak Nila menenangkan Rini.
“Iya, deh.” jawab Rini pelan.
Kak Nila memegangi tepian saung tua yang berdebu itu. Debu pun membekas di tangannya yang putih. “Hmm… sudah sangat lama saung ini dibiarkan kosong. Kurang lebih sekitar lima tahun yang lalu. Padahal, saung ini cukup kokoh,” ujarnya. Aci dan Rini hanya terdiam. Mereka mendengarkan kicauan burung hantu yang makin menambah suasana mistis malam itu. Mereka berdua bergidik ngeri. Dinginnya malam tak sebanding dengan ketakutan yang dialami mereka. Suara-suara dari semak terdengar begitu jelas. Daun-daun yang berguguran diterpa angin membuat pandangan mereka tertutup sejenak. Malam itu sangat mencekam!
“Rin, perasaanku nggak enak, deh,” bisik Aci pelan.
Rini mangut-mangut. Ia lalu menyahut, “Ini jauh dari yang ku bayangkan. Ini lebih mencekam!”
“ARGGHH!!!!” teriak Kak Nila histeris. Ia lalu mundur ke belakang tempat Rini dan Aci berada.
“Kenapa, Kak?” tanya Aci heran. Rini mengiyakan.
“Tadi, Kakak merasa ada sesuatu yang memegang tangan Kakak. Dan, sepertinya itu… sebuah tangan manusia,” napas Kak Nila masih tak beraturan.
Rini dan Aci saling pandang, dan sesaat kemudian menggeleng bersamaan. Baru saja Aci akan berkata, tiba-tiba…
“KRESEK, KRESEK. HIHIHI…” terdengar sebuah suara dari semak yang ada di samping saung. Suara itu berbeda dari biasanya. “Kak, udahan, yuk. Ini mengerikan…” Aci mulai merayu kakaknya.
Kak Nila menghela napas. “Yahh, Aci… ini belum apa-apa, loh. Lagi pula, kita baru sesaat di sini. Setengah jam lagi, dong,” tolak Kak Nila.
“Rin, gimana? Aku takut, nih,” ujar Aci menatap Rini.
Rini hanya mengangkat bahunya sedikit. “Aku juga nggak tahu, Ci. Sabar aja, deh,”
ZZSTT! Terdengar petir menyambar yang kemudian diikuti suara gemuruh. Itu berarti pertanda bahwa hujan akan turun.
“Kak Nila, udahan aja, deh. Ini juga, kan, udah mau hujan. Lanjut besok aja, dah,” kini giliran Rini merayu.
“Hmm… hmm… hmm… bentar, deh, bentar,” lagi-lagi Kak Nila menolak sembari bersenandung kecil. Ah, tetap saja, ia masih enggan untuk pulang. Lagi-lagi, Kak Nila nekat. Ia malah duduk bersandar di saung tua itu. Rini dan Aci kaget bukan kepalang. Ia lalu menenggelamkan dirinya dalam lamunan. Entah apa yang ia pikirkan. Sementara itu, Rini dan Aci masih bersandar di pohon mangga yang ada di sebelah saung itu seraya menatap langit bertaburan bintang. Tiba-tiba…

“Ya, ampun!” Kak Nila berseru lagi.
“Kenapa lagi, Kak?” dengan malas Aci bertanya.
“Kalian nggak memegang pundak kakak?” tanya Kak Nila.
Rini dan Aci menggeleng bersamaan. “Buat apa?” celutuk Aci agak sebal.

“Memangnya, Kak Nila merasa ada yang memegang pundak kakak, ya?” tanya Rini.
Secara refleks, Kak Nila menoleh ke belakang yang kemudian diikuti oleh Aci dan Rini. Betapa terkejutnya mereka ketika… “Tidak…. ARGGHH!!!” seru mereka bersamaan lalu berlari terbirit-birit meninggalkan saung tua itu.

Sesampainya di lapangan, mereka bertiga masih seperti orang linglung. Semua anak-anak memusatkan perhatian kepada mereka bertiga. “Kenapa, Rin, Ci, Nil?” tanya Kak Fiza, tetangga Rini.
“Kita melihat kakek tua di pinggir saung tua itu…” jawab Rini seraya menunjuk saung yang memang nampak angker.

“Ha? Yang bener? Kalian ini gimana, sih? Udah tahu, kan, saung itu angker. Masih aja nekat mau ke sana. Ada-ada aja banget, sih,” omel Kak Fiza sedikit kesal.
“Sorry, Kak Fiza. Soalnya aku penasaran. Janji, deh, nggak kayak gitu lagi,” ucap Rini yang diikuti anggukan Kak Nila dan Aci.

“Iya, deh, iya,” balas Kak Fiza. Matanya disentakkan oleh handycam yang sedang dipegang oleh Rini. “Kak Fiza boleh lihat, nggak?” tanyanya lagi seraya menunjuk handycam Rini. Tanpa babibu, Rini lalu menyodorkan handycam-nya.

“Hei, kalian! Lihat, yuk, kayaknya seru, deh.” Rupanya, Kak Fiza mengajak anak-anak untuk melihat rekaman di handycam Rini. Anak-anak itu langsung mengerubungi bangku lapangan. Kak Fiza memutar rekaman itu. Ia memperhatikannya dengan seksama. “Hei, Rini! Lihat ini! Kameramu menangkap bayangan sosok manusia tua!” seru Kak Fiza.

Rini terbelalak kaget. Ia juga sama sekali tak menyangka jika akan terjadi hal itu. Aci dan Kak Nila juga tak kalah kagetnya. Rini cepat-cepat menghapus rekaman itu. Namun, betapa terkejutnya ia. Rekaman itu tidak bisa dihapus! Semua anak di sana menjerit histeris. Mereka semua hanya geleng-geleng kepala.

Kejadian tadi terngiang-ngiang di benak mereka. Rasanya, seperti film yang diputar. Rini menoleh ke belakang tempat saung itu berada. Saung itu terlihat lebih menyeramkan. Ia lalu cepat menoleh dan menggandeng lengan Aci dan Kak Nila untuk pulang ke rumah mereka tanpa memedulikan ocehan anak-anak kecil di sana. Siluet lelaki tua itu masih berdiri mematung menatap ketiga gadis yang beranjak pergi seraya menyunggingkan sebuah senyuman di ujung bibirnya. Entah, apalah arti senyuman itu.

Cerpen Karangan: Shafa Salsabilla
Facebook: Shafa Salsabilla
Umur: 12 tahun
Sekolah: MTsN Bima 1 Kota Bima, NTB

No comments:

Post a Comment