Di sebuah lapangan yang luas di Desa Asri, tampak pemandangan yang
tak asing lagi bagi warga sekitar. Apalagi kalau bukan anak-anak yang
bermain dengan riang di saat sore hari? Ya, sudah menjadi rutinitas
anak-anak di sana, bermain di saat sabtu sore, di tengah pemandangan
yang begitu indah. Bahkan, Rini -seorang anak perempuan yang baru saja
menetap di Desa Asri sebulan lalu- turut bergembira bersama kedua
temannya, Aci dan Yana.
“Uh… capenya,” keluh Rini sambil mengusap peluh yang bercucuran dari
dahinya. Ia lalu melihat sekelilingnya. Dilihatnya sebuah saung yang
terletak di pinggir lapangan. Saung itu memang nampak tua, tetapi cukup
lapang untuk beberapa orang. “Oh ya, Rin, Ci, aku balik dulu, ya.
Soalnya, bentar lagi, aku mau pergi ke rumah Tanteku. Dah!” Yana segera
berbalik arah meninggalkan Rini dan Aci yang masih kelelahan.
“Dah, juga, Yan. Besok main lagi, ya!” balas Rini dan Aci.
“Oh ya, Ci. Duduk-duduk di sana, yuk! Kayaknya enak, tuh,” ajak Rini seraya menunjuk saung yang tadi dilihatnya.
Aci memperhatikan baik saung yang tadi ditunjuk Rini. Matanya
tiba-tiba membulat. “Eh, jangan, Rin!” cegah Aci sembari menarik lengan
Rini yang hendak berbalik arah. Ia lalu menuntun Rini ke sebuah bangku
yang terletak di bawah pohon mangga. “Kenapa, Ci?” tanya Rini saat
mereka sudah duduk.
Aci menghela napasnya. “Aku mau cerita tentang saung itu sama kamu.
Kamu, kan, belum terlalu tahu sama apa yang ada di sini. Saung itu…
angker, loh,” Aci memulai ceritanya.
Rini terbelalak kaget. Tiba-tiba… “Hahaha..” tawanya meledak. “Saung
angker? Cerita zaman kapan, Ci?” Rini sama sekali tidak percaya dengan
cerita Aci. “Yang ku tahu, sesuatu yang angker itu hotel, gedung tua,
sekolah, asrama, rumah sakit, atau… bangunan lainnya. Ini, saung!
Hahaha..” Rini masih saja tertawa-tawa.
“Yang benar saja, kamu, Ci?” lanjutnya. Aci mengangguk mantap.
“Kalau kamu nggak percaya, nggak apa,” cibirnya.
“Ya, udah. Cerita aja. Kayaknya, kasihan kamunya,” ledek Rini geli.
“Dulu, beberapa tahun yang lalu, di sini ada seorang kakek-kakek tua,
namanya Kakek Yo. Dia itu tinggal di saung itu karena nggak punya
rumah. Di suatu malam, tepatnya Sabtu malam, terjadi kecelakaan yang
menewaskan Kakek Yo. Ceritanya begini… malam itu, Kakek Yo berjalan
turun dari saungnya. Tiba-tiba saja ada mobil berkecepatan tinggi melaju
menuju jalan yang dilalui Kakek Yo, dan mobil itu langsung menabrak
Kakek Yo. Kakek malang itu langsung terlempar ke arah saungnya.
Sementara mobil itu langsung meninggalkan Kakek Yo yang tergeletak di
saung. Jadilah saung itu angker. Warga sekitar sini pun awalnya tak ada
yang tahu. Mereka baru mengetahui kejadian itu keesokan harinya, ketika
melihat kamera pengintai yang terpasang,” cerita Aci panjang lebar.
“Terus, terus?” tanya Rini penasaran. Nampaknya, ia mulai tertarik dengan cerita Aci.
“Kamu tahu nggak, Rin? Di saung itu sering terjadi penampakan. Dan, yang
paling sering terjadi ketika sabtu malam,” terang Aci lanjut.
“Penampakannya seperti apa, Ci?”
“Biasanya, malam-malam, warga sekitar sering melihat seorang kakek
duduk lemas di saung itu. Tapi, setelah dilihat lagi, kakeknya ngilang.
Sama satu lagi, kalau ada mobil melintas di jalan depan saung itu, para
pengemudi mobil selalu melihat seorang kakek tua yang menyetop mobil
mereka. Namun, kalau mereka ke luar dari mobil untuk melihat lagi,
ataupun kalau mereka mengelakson, kakek itu sudah nggak ada lagi, Rin.
Sama ini yang paling angker, loh, Rin. Ada, loh, penghuni baru yang baru
pindah ke sini. Nggak tahunya, dia malah duduk-duduk di saung itu.
Tiba-tiba saja dia diseret oleh kakek tua. Terus, dia berteriak minta
tolong. Namun, setelah warga menuju ke sana, orang itu sudah tergeletak
tak berdaya. Terus, setelah sadar, orang itu menceritakan semua yang ia
alami. Dan… kamu tahulah, Rin. Saung itu memang angker. Bertahun sudah
saung itu tak pernah diduduki,” jelas Aci panjang lebar.
“Ih… serem banget!” sahut Rini sambil bergididk ngeri.
“Iya, Rin,” balas Aci singkat.
Rini berpikir sejenak. Tiba-tiba ia tersenyum sendiri. “Ci, gimana kalau
kita nanti malam selidiki saung itu. Hmm… kayak yang di TV-TV itu, loh.
Ya… daripada kita masih penasaran, sekali-kali nyoba aja, deh,” usul
Rini. Aci terbelalak kaget.
“Serius kamu, Rin? Bukannya aku takut sih, tapi… nanti malam, kan, sabtu
malam. Ingat kecelakaan itu, kan? Ngeri, deh,” tolak Aci sambil menatap
saung itu.
“Ah, nggak apa-apa, kok, Ci. Nanti malam, lapangan pasti ramai.
Tenang aja, kok. Kalau kamu mau, kamu boleh, kok, ajak kakakmu, Kak
Nila,” tutur Rini berharap-harap.
“Aku bimbang, deh, Rin.” Raut wajah Aci masih ragu-ragu.
“Plis banget, Ci. Plis, deh,” pinta Rini memohon-mohon.
“Oke, deh. Sebenarnya, aku juga, sih, penasaran. Nanti, jam sembilan,
ketemuan di sini, ya!” akhirnya Aci menyetujui usulan Rini.
“Nah, gitu, dong, Ci. Baru sahabatku.” Rini merangkul Aci.
“Oya, nanti kamu bawa handycam, ya! Biar seru. Aku bawa senter aja,” ujar Aci. Rini mengangguk.
—
Sabtu malam itu, lapangan Desa Asri tampak ramai. Memang, setiap
Sabtu malam, ada banyak permainan anak yang mengasyikkan. Selain itu,
Desa Asri yang setiap malamnya sunyi dan sepi, malam itu penuh
kelap-kelip. Rini, Aci, dan Nila sudah siap untuk memulai misi
menegangkan mereka. Menyelidiki saung tua yang dianggap angker bagi
warga setempat. Mungkin saja, malam itu tak seseram apa yang
dibayangkan. Hiruk pikuk keceriaan anak-anak, aneka lampu berwarna-warni
dan berkelap-kelip, dan bulan purnama yang bersinar terang, nyaris
membuat Rini, Aci dan Nila tidak membuat takut akan apa yang mereka
lakukan.
“Itu saungnya!” tunjuk Aci pada saung tua itu.
“Aku heran banget, Ci. Entah ini tanggapanku atau bukan, saung itu
terlihat lebih seram dan punya aura mistis dibanding tadi sore,” ujar
Rini serius.
“Kamu benar, Rin. Yuk, jalan!” Kak Nila mengomando.
Mereka bertiga lalu berjalan menuju saung itu. Saat ini, jarak antara
mereka dengan saung itu kurang lebih 20 meter. Tetapi, mereka sudah
ketakutan, seolah-olah, mereka berada tepat di depan saung itu. “Aku
merasa ini mengerikan sekali. Padahal, kita juga masih berjalan. Memang
benar, ini tempat ternyata seram amat!” komentar Kak Nila seraya
bergidik ngeri. Rini menyuting sekelilingnya dengan handycam miliknya.
Tiba-tiba saja, kameranya menangkap bayangan yang berlalu seperti kilat.
“Hei? Apa tadi?” Rini terbelalak kaget. Ia memperhatikan dengan
seksama sekelilingnya. Seketika, pikirannya mulai dihinggapi rasa takut
bercampur penasaran.
“Kenapa, Rin?” tanya Aci heran. Dia memegang pundak Rini.
“Kok, aku ngerasa ada yang lewat, ya, tadi? Tapi, aku masih belum sadar.
Firasatku, ada yang nggak beres, nih.” Rini mengelus-elus dadanya.
“Hmm… aneh juga. Tapi, nggak apa, Rin. Nggak usah takut, kok. Atau,
mungkin itu cuma feeling-mu aja. Jangan khawatir.” Kak Nila menenangkan
Rini.
“Iya, deh.” jawab Rini pelan.
Kak Nila memegangi tepian saung tua yang berdebu itu. Debu pun
membekas di tangannya yang putih. “Hmm… sudah sangat lama saung ini
dibiarkan kosong. Kurang lebih sekitar lima tahun yang lalu. Padahal,
saung ini cukup kokoh,” ujarnya. Aci dan Rini hanya terdiam. Mereka
mendengarkan kicauan burung hantu yang makin menambah suasana mistis
malam itu. Mereka berdua bergidik ngeri. Dinginnya malam tak sebanding
dengan ketakutan yang dialami mereka. Suara-suara dari semak terdengar
begitu jelas. Daun-daun yang berguguran diterpa angin membuat pandangan
mereka tertutup sejenak. Malam itu sangat mencekam!
“Rin, perasaanku nggak enak, deh,” bisik Aci pelan.
Rini mangut-mangut. Ia lalu menyahut, “Ini jauh dari yang ku bayangkan. Ini lebih mencekam!”
“ARGGHH!!!!” teriak Kak Nila histeris. Ia lalu mundur ke belakang tempat Rini dan Aci berada.
“Kenapa, Kak?” tanya Aci heran. Rini mengiyakan.
“Tadi, Kakak merasa ada sesuatu yang memegang tangan Kakak. Dan,
sepertinya itu… sebuah tangan manusia,” napas Kak Nila masih tak
beraturan.
Rini dan Aci saling pandang, dan sesaat kemudian menggeleng bersamaan. Baru saja Aci akan berkata, tiba-tiba…
“KRESEK, KRESEK. HIHIHI…” terdengar sebuah suara dari semak yang ada
di samping saung. Suara itu berbeda dari biasanya. “Kak, udahan, yuk.
Ini mengerikan…” Aci mulai merayu kakaknya.
Kak Nila menghela napas. “Yahh, Aci… ini belum apa-apa, loh. Lagi pula,
kita baru sesaat di sini. Setengah jam lagi, dong,” tolak Kak Nila.
“Rin, gimana? Aku takut, nih,” ujar Aci menatap Rini.
Rini hanya mengangkat bahunya sedikit. “Aku juga nggak tahu, Ci. Sabar aja, deh,”
ZZSTT! Terdengar petir menyambar yang kemudian diikuti suara gemuruh. Itu berarti pertanda bahwa hujan akan turun.
“Kak Nila, udahan aja, deh. Ini juga, kan, udah mau hujan. Lanjut besok aja, dah,” kini giliran Rini merayu.
“Hmm… hmm… hmm… bentar, deh, bentar,” lagi-lagi Kak Nila menolak sembari
bersenandung kecil. Ah, tetap saja, ia masih enggan untuk pulang.
Lagi-lagi, Kak Nila nekat. Ia malah duduk bersandar di saung tua itu.
Rini dan Aci kaget bukan kepalang. Ia lalu menenggelamkan dirinya dalam
lamunan. Entah apa yang ia pikirkan. Sementara itu, Rini dan Aci masih
bersandar di pohon mangga yang ada di sebelah saung itu seraya menatap
langit bertaburan bintang. Tiba-tiba…
“Ya, ampun!” Kak Nila berseru lagi.
“Kenapa lagi, Kak?” dengan malas Aci bertanya.
“Kalian nggak memegang pundak kakak?” tanya Kak Nila.
Rini dan Aci menggeleng bersamaan. “Buat apa?” celutuk Aci agak sebal.
“Memangnya, Kak Nila merasa ada yang memegang pundak kakak, ya?” tanya Rini.
Secara refleks, Kak Nila menoleh ke belakang yang kemudian diikuti oleh
Aci dan Rini. Betapa terkejutnya mereka ketika… “Tidak…. ARGGHH!!!” seru
mereka bersamaan lalu berlari terbirit-birit meninggalkan saung tua
itu.
Sesampainya di lapangan, mereka bertiga masih seperti orang linglung.
Semua anak-anak memusatkan perhatian kepada mereka bertiga. “Kenapa,
Rin, Ci, Nil?” tanya Kak Fiza, tetangga Rini.
“Kita melihat kakek tua di pinggir saung tua itu…” jawab Rini seraya menunjuk saung yang memang nampak angker.
“Ha? Yang bener? Kalian ini gimana, sih? Udah tahu, kan, saung itu
angker. Masih aja nekat mau ke sana. Ada-ada aja banget, sih,” omel Kak
Fiza sedikit kesal.
“Sorry, Kak Fiza. Soalnya aku penasaran. Janji, deh, nggak kayak gitu lagi,” ucap Rini yang diikuti anggukan Kak Nila dan Aci.
“Iya, deh, iya,” balas Kak Fiza. Matanya disentakkan oleh handycam
yang sedang dipegang oleh Rini. “Kak Fiza boleh lihat, nggak?” tanyanya
lagi seraya menunjuk handycam Rini. Tanpa babibu, Rini lalu menyodorkan
handycam-nya.
“Hei, kalian! Lihat, yuk, kayaknya seru, deh.” Rupanya, Kak Fiza
mengajak anak-anak untuk melihat rekaman di handycam Rini. Anak-anak itu
langsung mengerubungi bangku lapangan. Kak Fiza memutar rekaman itu. Ia
memperhatikannya dengan seksama. “Hei, Rini! Lihat ini! Kameramu
menangkap bayangan sosok manusia tua!” seru Kak Fiza.
Rini terbelalak kaget. Ia juga sama sekali tak menyangka jika akan
terjadi hal itu. Aci dan Kak Nila juga tak kalah kagetnya. Rini
cepat-cepat menghapus rekaman itu. Namun, betapa terkejutnya ia. Rekaman
itu tidak bisa dihapus! Semua anak di sana menjerit histeris. Mereka
semua hanya geleng-geleng kepala.
Kejadian tadi terngiang-ngiang di
benak mereka. Rasanya, seperti film yang diputar. Rini menoleh ke
belakang tempat saung itu berada. Saung itu terlihat lebih menyeramkan.
Ia lalu cepat menoleh dan menggandeng lengan Aci dan Kak Nila untuk
pulang ke rumah mereka tanpa memedulikan ocehan anak-anak kecil di sana.
Siluet lelaki tua itu masih berdiri mematung menatap ketiga gadis yang
beranjak pergi seraya menyunggingkan sebuah senyuman di ujung bibirnya.
Entah, apalah arti senyuman itu.
Cerpen Karangan: Shafa Salsabilla
Facebook: Shafa Salsabilla
Umur: 12 tahun
Sekolah: MTsN Bima 1 Kota Bima, NTB
No comments:
Post a Comment