Thursday, September 22, 2016

Bayang Bayang

Hal yang paling mengerikan dari kasus di sekolahku adalah ketika tiba-tiba namaku ikut terseret ke dalamnya. Aku pun tak menyangka. Hanya ada satu kasus yang terjadi berulang-ulang hingga menyisipkan misteri di benak para siswa dan beribu tanda tanya. Kasus itu mulai menghantui sekolahku awal bulan lalu. Setelah kasus pertama terjadi, sederetan kasus lainnya mulai bermunculan seakan satu sama lain disatukan dengan sebuah rantai yang tak terpisahkan. Dari awal sudah banyak pihak yang menduga kasus-kasus itu saling berhubungan. Bahkan semakin jelas mengarah pada satu titik yang menyatakan bahwa pelaku dari semua kasus itu adalah orang yang sama. Hanya satu hal yang mengganjal di hatiku, tak ada yang pernah meramalkan bahwa pelakunya adalah aku.

Ku dapati diriku duduk menghadap meja kepala sekolah seraya menundukkan kepala. Aku bukan sedang menyesali perbuatanku. Aku sedang mengorek ingatanku tentang peristiwa dua malam lalu. Peristiwa itu telah membuat endapan mengerikan di benakku. Aku terus bermimpi buruk semenjak melihat penampakan itu. Tepatnya penampakan sosok legam yang tengah menatapku. Begitu melihatnya lututku gemetar. Keringat dingin mengucur deras dari keningku. Aku begitu takut sehingga langsung lari tanpa berpikir terlebih dahulu. Aku ingin melupakan kejadian malam itu.

Namun hari ini, ingatanku tentang kejadian itu bisa menyelamatkanku. Setidaknya untuk sementara waktu. Mataku menatap nanar meja kepala sekolah. Sebuah meja kayu sederhana yang di atasnya dilapisi kaca. Tampak bersih dan mengkilat dipandang. Selain itu, sebuah kain batik berwarna merah menyala melekat di atasnya. Ruang kepala sekolah masih lengang. Beberapa guru terlihat sedang berbicara di depan pintu. Mereka enggan berada di dalam bersamaku. Mungkin agar aku tak bisa mendengar percakapan mereka. Tetapi usaha itu sia-sia. Sedari tadi ku dengar namaku berulang kali disebut. Jelaslah siapa yang sedang dibicarakan.

Sebentar lagi, seorang polisi akan datang ke mari. Dari semua panorama itu, ada hal yang memikat mataku. Tepat di atas meja yang terletak di pojok ruangan, benda itu berada. Mataku kembali menyapu setiap sudut ruang kepala sekolah. Sekolahku memang berada di perkotaan. Suara klakson kendaraan yang hilir mudik tidak pernah mengganggu suasana belajar mengajar. Sekolahku banyak menorehkan prestasi di tingkat nasional, itulah sebabnya setiap tahun sekolahku kebanjiran bantuan dari pemerintah. Mulai dari komputer, LCD, kipas angin, televisi, dan alat-alat penunjang pembelajaran sudah tersedia dan siap digunakan setiap saat. Sayangnya sekolahku berada di dekat area kumuh perkotaan. Tempat di mana rumah-rumah tak layak huni berdiri di sela-sela gedung pemerintahan.

Ancaman dari pemerintah sudah seperti sarapan bagi warga di sana. Setiap saat, petugas bisa menggusur rumah-rumah itu untuk dijadikan taman kota. Mereka tak perlu izin untuk sebuah daerah pemukiman tak berizin. Anak-anak di sana tidak bersekolah. Mereka menertawakan pendidikan. Bahkan di lingkungan rumahku, hanya seperempat dari jumlahnya yang masih sanggup bersekolah. Mereka lebih memilih mengamen daripada mengenyam pendidikan. Akibatnya, lingkungan rumahku menjadi area berbahaya bagi pendatang. Para ‘klepto’ sudah menanti mereka. Ya. Hobi mereka setelah mengamen adalah menjadi ‘klepto’. Yang lebih parah, sekolahku tak peduli pada hal ini. Mereka tak tahu tempat apa yang sedang mereka jejaki. Terbukti! Tak ada kamera CCTV, bahkan di ruang kepala sekolah sekalipun.

Satu jam sudah polisi menyelidikiku. Aku hanya menjawab sekenanya yang ku bisa. Aku tak sendiri di sini. Beberapa saat kemudian, kepala sekolah datang membawa tiga siswa. Aldi, Reza, dan Irfan. Mereka bertiga duduk di sebuah kursi panjang yang terletak tidak jauh dariku. Mereka menunggu untuk diselidiki polisi. Aku merasa memiliki kawan dalam kasus ini, meski mereka pikir akulah sang pelaku utamanya. “Dandi, kau boleh ke luar,” polisi itu mengakhiri penyelidikannya. Aku beranjak dari kursi dan hendak ke luar dari ruang kepala sekolah. Sementara itu, kini giliran Aldi untuk diselidiki.

Kepala sekolah membolehkanku kembali ke kelas. Hatiku sangat gembira. Aku berjalan menuju kelas tanpa mempedulikan tatapan sinis dari siswa lain. “Lihat! Itu si klepto!” Caci seorang siswa padaku disambut gelak tawa siswa lainnya. Aku hanya tersenyum kecil sambil terus melangkah menuju kelas. Akan ku buktikan bahwa aku tak bersalah! Bel pulang berbunyi. Aku berjalan menuju gerbang sekolah. Sedari tadi ku lihat tatapan sinis mengarah ke arahku. Selain itu beberapa guru menatap garang dan curiga. Ya! Aku masih berpredikat pelaku utama dalam kasus ini. Namun itu tak lama lagi akan tercabut. Dan orang-orang itu harus meminta maaf atas perilakunya padaku.

“Dandi!!” Sapa seseorang. Aku mencari sumber suara yang amat ku kenal itu. Suara Agam.
“Baru pulang, Gam?” Tanyaku pada Agam yang sedari tadi mengelap keringatnya dengan handuk yang melingkar di lehernya. Agam tersenyum padaku.

“Iya. Kau sendiri? Mengapa dari tadi ku amati kau terlihat gundah?” Agam balik bertanya. Aku tak bisa menjawab. Aku sangat menghargai Agam. Sebagai sahabatku yang telah lama putus sekolah, Agam tetap ramah dan baik padaku seperti apapun keadaannya. Aku dan Agam berjalan pulang bersama. Kami bertetangga dan keluarga kami begitu dekat.

“Jam baru, Dan?” Tanya Agam sambil memperhatikan arloji putih mengkilat yang melingkar di tanganku. Aku mengangguk pelan. Agam sangat menyukai arloji. Dulu aku pernah memberinya sebuah arloji berwarna cokelat tua, Agam sangat senang. Ngomong-ngomong soal arloji, tiba-tiba aku teringat percakapanku tadi dengan polisi. Percakapan siang tadi akan berlanjut besok dan seterusnya mungkin sampai aku mau mengaku. Namun aku tahu, aku tak bersalah!

“Ada masalah, Dan?” Agam bertanya melihat sikap anehku. Aku lebih pendiam dari biasanya. Aku tak mau Agam sampai tahu, karena itu aku kembali menggelengkan kepala.

“Benar tak ada masalah?” Agam bertanya lagi melihatku terus menatapnya dengan aneh. Aku ingin sementara Agam tak tahu apa-apa soal sekolahku. Aku memaksakan senyum.

Ku ceritakan apa yang ku lihat di malam mengerikan itu pada polisi. Aku baru mengingat detail kejadiannya kemarin sepulang sekolah. Selain itu aku menambahkan beberapa informasi yang sudah tak patut lagi ku sembunyikan. “Jadi, malam itu bukan kau yang masuk ke ruang kepala sekolah?” Tanya polisi. Aku mengangguk. “Buktinya?”

“Malam itu sedang ada pertandingan bulu tangkis di GOR samping sekolah, kebetulan saya menonton. Kalau Anda tidak percaya, Anda bisa bertanya pada para peserta pertandingan, perwakilan dari masing-masing SMA di kota ini. Lalu saat pulang saya melihat penampakan itu,” kataku. Polisi mengangguk-anggukan kepala sambil mencatat sesuatu.

“Lalu soal…” polisi mengangkat plastik kecil dan meletakkannya di atas meja. Aku tersenyum sinis menatap benda yang ada di atas meja. Benda inilah dasar semua orang menganggapku pelakunya. Tetapi benda ini juga yang akan menyelamatkanku dari skors hari ini.

“Kelihatannya kau sudah tahu siapa pelaku sebenarnya?” Tanya polisi melihatku tersenyum penuh kemenangan. Aku mengangguk.

Hari ini aku berhasil membuktikan bahwa aku tak bersalah. Semua orang percaya. Kebenaran akan terungkap. Hari ini polisi dan guru-guru di sekolahku ku buat sadar bahwa sekolah ini berada di tengah lingkungan para pencuri. Jadi, warga yang sering lewat di depan sekolah pun bisa jadi pelakunya. “Pak, ku sarankan Anda memasang CCTV. Terlebih di ruangan Anda,” ujarku saat melewati Pak Karim, kepala sekolah. Pak Karim hanya tersenyum. Beliau meminta maaf karena telah menuduhku.

Aku berjalan riang menuju kelas. Predikat pelaku utama telah tercabut. Tak lagi ku lihat tatapan-tatapan sinis mengarah padaku. Semua kembali seperti semula seakan tak pernah terjadi apa-apa. Segerombol Polisi memasuki sekolah. Di tengah mereka, nampak seorang anak seusiaku mengedarkan wajah kesal ke seluruh kelas. Aku tertawa kecil melihatnya. Ya! Ialah sang tersangka sebenarnya. Mata sipitnya menatap nyalang saat melewatiku. Mata penuh dendam milik Agam. Aku membalas dengan anggukan kecil padanya. Kalian pasti penasaran mengapa Agam ditangkap? Mari ku antar menuju dua malam yang lalu, kejadian aneh itu.

Sedari tadi tak henti-hentinya ku lihat arloji putih yang baru ku beli. Jam menunjuk pukul 22.25 saat aku ke luar dari GOR. Suasana mulai sepi. Aku mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru. Sekarang aku sedang melewati jalan kecil di samping sekolah, jalan menuju rumahku. BRAKKK!!! Aku berhenti. Suara itu berasal dari ruang lantai atas sekolah. Karena penasaran, ku cari-cari di mana asal suara itu. Mataku berhenti di jendela ruang kepala sekolah. Seseorang sedang melongokkan kepalanya dari jendela. Ku amati terus namun aku tak tahu siapa orang itu. Ruang kepala sekolah begitu gelap. Di dalam ruang yang nampak remang-remang itu, sosok yang ku lihat hanya seperti sebuah bayangan hitam. Aku tersentak, bayang-bayang itu seperti sedang menatapku. Bulu kudukku merinding. Kakiku seperti terpaku pada aspal. Aku begitu ketakutan.

“Han..hantu!!!” Teriakku sambil berlari pulang.

Agamlah pelakunya. Kau tahu? Malam itu Agam masuk ke ruang kepala sekolah. Ia mengambil tiga medali emas yang terpajang di dalam lemari kaca. Saat Agam mengawasi daerah sekitar lewat jendela, ia melihatku sedang memperhatikannya pasalnya aku berdiri di bawah sorot lampu jalan. Sayangnya aku tak dapat melihat wajahnya karena lampu ruang kepala sekolah mati. Agam mengira aku tahu itu dirinya. Saat itu juga, Agam melepas arloji biru tua pemberianku dan meletakkannya di lantai agar nanti aku yang kena getahnya. Kebetulan namaku masih terukir di permukaan arloji itu. Jadi siapa pun yang menemukannya mengira aku yang telah mencuri ketiga medali emas itu. Dan rencananya berhasil.

Aku tak tahu pasti apakah Agam juga menjadi pelaku kasus pencurian lainnya. Apalagi mengingat sekolahku berdiri di lingkungan para klepto. Sejak awal, pencurian di sekolahku memang sering terjadi. Biasanya banyak siswa kehilangan uang mereka yang tersimpan di dalam ransel, kehilangan alat tulis yang tersimpan di dalam locker dan kehilangan alat kebersihan kelas. Namun pihak sekolah menyepelekan kasus-kasus kecil itu sampai akhirnya suatu kasus besar terjadi. Awal bulan lalu, lima LCD di sekolah lenyap. Berlanjut uang-uang yang tersimpan di koperasi ikut sirna. Lalu minggu ini, lima medali emas telah muksa. Aku kasihan pada Aldi, Reza, dan Irfan. Mereka bertiga memang sering berulah. Mungkin karena itu semua kasus yang sebenarnya tak berhubungan dikait-kaitkan dengan mereka.

Selesai sudah misiku. Ku langkahkan kakiku menuju kelas tanpa menghiraukan Agam yang sedari tadi menatapku. Ku raba saku bajuku. Aku tertawa lirih. Benda itu masih ada. Saat ini jam istirahat. Kelasku kosong. Cepat-cepat ku hampiri tasku. Ku keluarkan benda itu dari saku bajuku. Kalian jangan heran, bukankah tadi sudah ku bilang bahwa lingkungan tempatku tinggal adalah lingkungan klepto? Aku menyeringai sambil membelai-belai benda itu. Benda ini sudah dua hari berdiam di sakuku. Sebelum kasus ini usai, aku tak berani mengeluarkannya. Aku kembali tertawa. Menurutku semua kasus yang terjadi di sekolah tidak saling berhubungan.

“Dandi?” Aku tersentak. Suara Reza. Ku tolehkan kepalaku.
“Apa yang kau lakukan? Amplop..” aku mengangkat telunjukku. Reza terdiam.
“Apa kau bisa diam? Aku bersedia membaginya denganmu dengan syarat kebisuanmu,” Reza mengangguk. Matanya berbinar. Yang terjadi selanjutnya bisa kalian tebak. Separuh lembaran benda ini pun beralih tangan. Aku sudah meramalkan, sebentar lagi kegaduhan akan kembali. Sebentar lagi.

Cerpen Karangan: Arizqa Shafa Salsabila
Facebook: Arizqa Shafa Salsabila
Nama : Arizqa Shafa Salsabila
Kelas VIII A
SMPN 1 Donorojo
Kabupaten Pacitan
Jawa Timur

No comments:

Post a Comment