Hal yang paling mengerikan dari kasus di sekolahku adalah ketika
tiba-tiba namaku ikut terseret ke dalamnya. Aku pun tak menyangka. Hanya
ada satu kasus yang terjadi berulang-ulang hingga menyisipkan misteri
di benak para siswa dan beribu tanda tanya. Kasus itu mulai menghantui
sekolahku awal bulan lalu. Setelah kasus pertama terjadi, sederetan
kasus lainnya mulai bermunculan seakan satu sama lain disatukan dengan
sebuah rantai yang tak terpisahkan. Dari awal sudah banyak pihak yang
menduga kasus-kasus itu saling berhubungan. Bahkan semakin jelas
mengarah pada satu titik yang menyatakan bahwa pelaku dari semua kasus
itu adalah orang yang sama. Hanya satu hal yang mengganjal di hatiku,
tak ada yang pernah meramalkan bahwa pelakunya adalah aku.
Ku dapati diriku duduk menghadap meja kepala sekolah seraya
menundukkan kepala. Aku bukan sedang menyesali perbuatanku. Aku sedang
mengorek ingatanku tentang peristiwa dua malam lalu. Peristiwa itu telah
membuat endapan mengerikan di benakku. Aku terus bermimpi buruk
semenjak melihat penampakan itu. Tepatnya penampakan sosok legam yang
tengah menatapku. Begitu melihatnya lututku gemetar. Keringat dingin
mengucur deras dari keningku. Aku begitu takut sehingga langsung lari
tanpa berpikir terlebih dahulu. Aku ingin melupakan kejadian malam itu.
Namun hari ini, ingatanku tentang kejadian itu bisa menyelamatkanku.
Setidaknya untuk sementara waktu. Mataku menatap nanar meja kepala
sekolah. Sebuah meja kayu sederhana yang di atasnya dilapisi kaca.
Tampak bersih dan mengkilat dipandang. Selain itu, sebuah kain batik
berwarna merah menyala melekat di atasnya. Ruang kepala sekolah masih
lengang. Beberapa guru terlihat sedang berbicara di depan pintu. Mereka
enggan berada di dalam bersamaku. Mungkin agar aku tak bisa mendengar
percakapan mereka. Tetapi usaha itu sia-sia. Sedari tadi ku dengar
namaku berulang kali disebut. Jelaslah siapa yang sedang dibicarakan.
Sebentar lagi, seorang polisi akan datang ke mari. Dari semua
panorama itu, ada hal yang memikat mataku. Tepat di atas meja yang
terletak di pojok ruangan, benda itu berada. Mataku kembali menyapu
setiap sudut ruang kepala sekolah. Sekolahku memang berada di perkotaan.
Suara klakson kendaraan yang hilir mudik tidak pernah mengganggu
suasana belajar mengajar. Sekolahku banyak menorehkan prestasi di
tingkat nasional, itulah sebabnya setiap tahun sekolahku kebanjiran
bantuan dari pemerintah. Mulai dari komputer, LCD, kipas angin,
televisi, dan alat-alat penunjang pembelajaran sudah tersedia dan siap
digunakan setiap saat. Sayangnya sekolahku berada di dekat area kumuh
perkotaan. Tempat di mana rumah-rumah tak layak huni berdiri di
sela-sela gedung pemerintahan.
Ancaman dari pemerintah sudah seperti sarapan bagi warga di sana.
Setiap saat, petugas bisa menggusur rumah-rumah itu untuk dijadikan
taman kota. Mereka tak perlu izin untuk sebuah daerah pemukiman tak
berizin. Anak-anak di sana tidak bersekolah. Mereka menertawakan
pendidikan. Bahkan di lingkungan rumahku, hanya seperempat dari
jumlahnya yang masih sanggup bersekolah. Mereka lebih memilih mengamen
daripada mengenyam pendidikan. Akibatnya, lingkungan rumahku menjadi
area berbahaya bagi pendatang. Para ‘klepto’ sudah menanti mereka. Ya.
Hobi mereka setelah mengamen adalah menjadi ‘klepto’. Yang lebih parah,
sekolahku tak peduli pada hal ini. Mereka tak tahu tempat apa yang
sedang mereka jejaki. Terbukti! Tak ada kamera CCTV, bahkan di ruang
kepala sekolah sekalipun.
—
Satu jam sudah polisi menyelidikiku. Aku hanya menjawab sekenanya
yang ku bisa. Aku tak sendiri di sini. Beberapa saat kemudian, kepala
sekolah datang membawa tiga siswa. Aldi, Reza, dan Irfan. Mereka bertiga
duduk di sebuah kursi panjang yang terletak tidak jauh dariku. Mereka
menunggu untuk diselidiki polisi. Aku merasa memiliki kawan dalam kasus
ini, meski mereka pikir akulah sang pelaku utamanya. “Dandi, kau boleh
ke luar,” polisi itu mengakhiri penyelidikannya. Aku beranjak dari kursi
dan hendak ke luar dari ruang kepala sekolah. Sementara itu, kini
giliran Aldi untuk diselidiki.
Kepala sekolah membolehkanku kembali ke kelas. Hatiku sangat gembira.
Aku berjalan menuju kelas tanpa mempedulikan tatapan sinis dari siswa
lain. “Lihat! Itu si klepto!” Caci seorang siswa padaku disambut gelak
tawa siswa lainnya. Aku hanya tersenyum kecil sambil terus melangkah
menuju kelas. Akan ku buktikan bahwa aku tak bersalah! Bel pulang
berbunyi. Aku berjalan menuju gerbang sekolah. Sedari tadi ku lihat
tatapan sinis mengarah ke arahku. Selain itu beberapa guru menatap
garang dan curiga. Ya! Aku masih berpredikat pelaku utama dalam kasus
ini. Namun itu tak lama lagi akan tercabut. Dan orang-orang itu harus
meminta maaf atas perilakunya padaku.
“Dandi!!” Sapa seseorang. Aku mencari sumber suara yang amat ku kenal itu. Suara Agam.
“Baru pulang, Gam?” Tanyaku pada Agam yang sedari tadi mengelap
keringatnya dengan handuk yang melingkar di lehernya. Agam tersenyum
padaku.
“Iya. Kau sendiri? Mengapa dari tadi ku amati kau terlihat gundah?” Agam
balik bertanya. Aku tak bisa menjawab. Aku sangat menghargai Agam.
Sebagai sahabatku yang telah lama putus sekolah, Agam tetap ramah dan
baik padaku seperti apapun keadaannya. Aku dan Agam berjalan pulang
bersama. Kami bertetangga dan keluarga kami begitu dekat.
“Jam baru, Dan?” Tanya Agam sambil memperhatikan arloji putih
mengkilat yang melingkar di tanganku. Aku mengangguk pelan. Agam sangat
menyukai arloji. Dulu aku pernah memberinya sebuah arloji berwarna
cokelat tua, Agam sangat senang. Ngomong-ngomong soal arloji, tiba-tiba
aku teringat percakapanku tadi dengan polisi. Percakapan siang tadi akan
berlanjut besok dan seterusnya mungkin sampai aku mau mengaku. Namun
aku tahu, aku tak bersalah!
“Ada masalah, Dan?” Agam bertanya melihat sikap anehku. Aku lebih
pendiam dari biasanya. Aku tak mau Agam sampai tahu, karena itu aku
kembali menggelengkan kepala.
“Benar tak ada masalah?” Agam bertanya lagi melihatku terus menatapnya
dengan aneh. Aku ingin sementara Agam tak tahu apa-apa soal sekolahku.
Aku memaksakan senyum.
—
Ku ceritakan apa yang ku lihat di malam mengerikan itu pada polisi.
Aku baru mengingat detail kejadiannya kemarin sepulang sekolah. Selain
itu aku menambahkan beberapa informasi yang sudah tak patut lagi ku
sembunyikan. “Jadi, malam itu bukan kau yang masuk ke ruang kepala
sekolah?” Tanya polisi. Aku mengangguk. “Buktinya?”
“Malam itu sedang ada pertandingan bulu tangkis di GOR samping sekolah,
kebetulan saya menonton. Kalau Anda tidak percaya, Anda bisa bertanya
pada para peserta pertandingan, perwakilan dari masing-masing SMA di
kota ini. Lalu saat pulang saya melihat penampakan itu,” kataku. Polisi
mengangguk-anggukan kepala sambil mencatat sesuatu.
“Lalu soal…” polisi mengangkat plastik kecil dan meletakkannya di
atas meja. Aku tersenyum sinis menatap benda yang ada di atas meja.
Benda inilah dasar semua orang menganggapku pelakunya. Tetapi benda ini
juga yang akan menyelamatkanku dari skors hari ini.
“Kelihatannya kau sudah tahu siapa pelaku sebenarnya?” Tanya polisi melihatku tersenyum penuh kemenangan. Aku mengangguk.
—
Hari ini aku berhasil membuktikan bahwa aku tak bersalah. Semua orang
percaya. Kebenaran akan terungkap. Hari ini polisi dan guru-guru di
sekolahku ku buat sadar bahwa sekolah ini berada di tengah lingkungan
para pencuri. Jadi, warga yang sering lewat di depan sekolah pun bisa
jadi pelakunya. “Pak, ku sarankan Anda memasang CCTV. Terlebih di
ruangan Anda,” ujarku saat melewati Pak Karim, kepala sekolah. Pak Karim
hanya tersenyum. Beliau meminta maaf karena telah menuduhku.
Aku berjalan riang menuju kelas. Predikat pelaku utama telah
tercabut. Tak lagi ku lihat tatapan-tatapan sinis mengarah padaku. Semua
kembali seperti semula seakan tak pernah terjadi apa-apa. Segerombol
Polisi memasuki sekolah. Di tengah mereka, nampak seorang anak seusiaku
mengedarkan wajah kesal ke seluruh kelas. Aku tertawa kecil melihatnya.
Ya! Ialah sang tersangka sebenarnya. Mata sipitnya menatap nyalang saat
melewatiku. Mata penuh dendam milik Agam. Aku membalas dengan anggukan
kecil padanya. Kalian pasti penasaran mengapa Agam ditangkap? Mari ku
antar menuju dua malam yang lalu, kejadian aneh itu.
—
Sedari tadi tak henti-hentinya ku lihat arloji putih yang baru ku
beli. Jam menunjuk pukul 22.25 saat aku ke luar dari GOR. Suasana mulai
sepi. Aku mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru. Sekarang aku sedang
melewati jalan kecil di samping sekolah, jalan menuju rumahku. BRAKKK!!!
Aku berhenti. Suara itu berasal dari ruang lantai atas sekolah. Karena
penasaran, ku cari-cari di mana asal suara itu. Mataku berhenti di
jendela ruang kepala sekolah. Seseorang sedang melongokkan kepalanya
dari jendela. Ku amati terus namun aku tak tahu siapa orang itu. Ruang
kepala sekolah begitu gelap. Di dalam ruang yang nampak remang-remang
itu, sosok yang ku lihat hanya seperti sebuah bayangan hitam. Aku
tersentak, bayang-bayang itu seperti sedang menatapku. Bulu kudukku
merinding. Kakiku seperti terpaku pada aspal. Aku begitu ketakutan.
“Han..hantu!!!” Teriakku sambil berlari pulang.
—
Agamlah pelakunya. Kau tahu? Malam itu Agam masuk ke ruang kepala
sekolah. Ia mengambil tiga medali emas yang terpajang di dalam lemari
kaca. Saat Agam mengawasi daerah sekitar lewat jendela, ia melihatku
sedang memperhatikannya pasalnya aku berdiri di bawah sorot lampu jalan.
Sayangnya aku tak dapat melihat wajahnya karena lampu ruang kepala
sekolah mati. Agam mengira aku tahu itu dirinya. Saat itu juga, Agam
melepas arloji biru tua pemberianku dan meletakkannya di lantai agar
nanti aku yang kena getahnya. Kebetulan namaku masih terukir di
permukaan arloji itu. Jadi siapa pun yang menemukannya mengira aku yang
telah mencuri ketiga medali emas itu. Dan rencananya berhasil.
Aku tak tahu pasti apakah Agam juga menjadi pelaku kasus pencurian
lainnya. Apalagi mengingat sekolahku berdiri di lingkungan para klepto.
Sejak awal, pencurian di sekolahku memang sering terjadi. Biasanya
banyak siswa kehilangan uang mereka yang tersimpan di dalam ransel,
kehilangan alat tulis yang tersimpan di dalam locker dan kehilangan alat
kebersihan kelas. Namun pihak sekolah menyepelekan kasus-kasus kecil
itu sampai akhirnya suatu kasus besar terjadi. Awal bulan lalu, lima LCD
di sekolah lenyap. Berlanjut uang-uang yang tersimpan di koperasi ikut
sirna. Lalu minggu ini, lima medali emas telah muksa. Aku kasihan pada
Aldi, Reza, dan Irfan. Mereka bertiga memang sering berulah. Mungkin
karena itu semua kasus yang sebenarnya tak berhubungan dikait-kaitkan
dengan mereka.
—
Selesai sudah misiku. Ku langkahkan kakiku menuju kelas tanpa
menghiraukan Agam yang sedari tadi menatapku. Ku raba saku bajuku. Aku
tertawa lirih. Benda itu masih ada. Saat ini jam istirahat. Kelasku
kosong. Cepat-cepat ku hampiri tasku. Ku keluarkan benda itu dari saku
bajuku. Kalian jangan heran, bukankah tadi sudah ku bilang bahwa
lingkungan tempatku tinggal adalah lingkungan klepto? Aku menyeringai
sambil membelai-belai benda itu. Benda ini sudah dua hari berdiam di
sakuku. Sebelum kasus ini usai, aku tak berani mengeluarkannya. Aku
kembali tertawa. Menurutku semua kasus yang terjadi di sekolah tidak
saling berhubungan.
“Dandi?” Aku tersentak. Suara Reza. Ku tolehkan kepalaku.
“Apa yang kau lakukan? Amplop..” aku mengangkat telunjukku. Reza terdiam.
“Apa kau bisa diam? Aku bersedia membaginya denganmu dengan syarat
kebisuanmu,” Reza mengangguk. Matanya berbinar. Yang terjadi selanjutnya
bisa kalian tebak. Separuh lembaran benda ini pun beralih tangan. Aku
sudah meramalkan, sebentar lagi kegaduhan akan kembali. Sebentar lagi.
Cerpen Karangan: Arizqa Shafa Salsabila
Facebook: Arizqa Shafa Salsabila
Nama : Arizqa Shafa Salsabila
Kelas VIII A
SMPN 1 Donorojo
Kabupaten Pacitan
Jawa Timur
No comments:
Post a Comment