Thursday, September 22, 2016

Sampur Terakhir

Lina mematikan musik lalu duduk di sebuah bangku. Raut wajahnya menampakkan dirinya sedang tidak bersemangat. Rifa yang melihat Lina bertingkah aneh akhir-akhir ini lalu menghampiri Lina.
“Kamu ini kenapa Lin? lagi ada masalah?” Tanya Rifa sambil duduk di sebelah Lina.
“Jujur Mbak, aku bosan dengan tari yang selalu kita bawakan saat ada acara pentas seni. Coba deh kita bikin tari yang menakjubkan, yang bisa bikin orang terpana melihat kita, kan nantinya kita bisa terkenal.” Usul Lina sambil memainkan selendang yang dibawanya.
“Oh, jadi itu yang bikin kamu tidak semangat untuk menarikan tari ini? Kalau begitu mulai besok mbak pikirkan tari apa yang bisa bikin kamu semangat menari, setuju?” hibur Rifa sambil merayunya dengan menggantungkan sampur merah di leher Lina. “Yang benar mbak? Aku setuju sekali!” jawab Lina girang.
“Ya sudah, sekarang kita bereskan semuanya, sudah jam 5 sore,” kata Rifa sambil beranjak berdiri dan berjalan menjauh dari bangku tersebut. Lina kemudian mengikutinya.
Seperti yang dijanjikannya pada Rifa, Lina langsung menuju ke balai budaya, tempat ia dan Rifa berlatih tari. Sampai di sana, ternyata Rifa belum berangkat, padahal biasanya Rifa selalu datang lebih awal. Beberapa menit kemudian Rifa datang sambil berlari- lari dari kejauhan.
“Lina, ada berita bagus!” kata Rifa sambil menetralkan napasnya.
“Berita apa Mbak?” tanyanya penasaran.
“Ada perlombaan tari untuk umum. Hadiahnya besar, pemenang utama mendapatkan satu juta beserta piala dan piagam penghargaan,” jawab Rifa sambil tersenyum senang.
“Lombanya kapan? Aku ingin ikut mbak, ayo kita ikut lomba itu,” ajak Lina bersemangat.
“Kapannya? Aku lupa Lin, kayaknya masih sebulan lagi deh, cukup buat kita bikin tari baru lagi.” Jawab Rifa sambil mengingat-ingat.
“Ya, masih ada waktu. Bagaimana koreonya Mbak? Apakah kita akan membawakan tari tradisional lagi?” tanya Lina.
“Ya, aku sedang memikirkannya, sekarang kita mulai saja buat gerakan tarinya. Bagaimana kalau paduan tari tradisional dengan modern?” Usul Rifa sambil mengeluarkan sampur miliknya. “Hem, bagus juga itu. Bagaimana kalau tari Rama Sinta dipadu dengan gerakan dramanya? Bagian modern bisa kita selipkan dengan memasukkan satu atau dua orang lagi sebagai Hanoman dan Rahwana. Kayaknya lucu. Gerakan tari modern untuk tokoh Hanoman.” Usul Lina berapi-api.
“Oh iya Lin, ide luar biasa. Berarti, satu kelompok harus terdiri dari tiga atau empat orang.” Kata Rifa yang pastinya membuat Lina mengangguk bingung memikirkan penari tambahan.
“Siapa ya yang bisa menari lagi? Bentar aku ingat dulu, ada seorang temanku yang pintar menari, namanya Putri, ayo kita tanya ke dia, siapa tahu dia mau ikut,” usul Lina pada Rifa. Rifa mengangguk lalu mereka bergegas menuju ke rumah Putri. Sesampainya di rumah Putri, Lina menuju ke depan pintu dan mulai mengetuk pintu rumah Putri. Saat pintu terbuka, terlihat Putri yang mengenakan kaos olah raga dan membawa tas.
“Ada apa Lin?” tanya Putri sibuk memasukkan barang-barang ke dalam tasnya.
“Kamu mau tidak ikut menari bersama kita untuk lomba, soalnya kita kekurangan seorang penari lagi.” jelas Lina sambil terlihat memohon kepada Putri.
“Waduh, tetapi maaf banget ya Lin, masalahnya aku sibuk sekali jadi tidak ada waktu buat latihan tari. Kamu tahu sendiri kan aku saja sekolah seminggu tiga kali, maaf banget ya Lin.” Ucap Putri sambil meminta maaf.
“Ya sudahlah kalau gitu, terima kasih ya Put,” jawab Lina sedikit kecewa dan beranjak pulang. Jawaban Putri membuat idenya mungkin akan sia-sia.
“Hei.. kok melamun, dari mana sore-sore gini?” tanya Tika. Teman satu sekolah Lina.
“Ehm.. rumah Putri Tik.”
“Memangnya ada apa?” tanya Tika lagi.
“Aku lagi mencari seseorang yang bisa menari untuk ikut lomba menari bersama kita. Ku kira Putri bisa, ternyata dia super sibuk.” Jawab Lina pada Tika.
“Lomba menari? Kalau aku boleh ikut tidak?” tanya Tika menawarkan diri. Sesaat Lina dan Rifa saling berpandangan. Setelah Rifa mengangguk akhirnya Lina pun menyetujuinya.
Latihan tari pertama kali hari ini membuat Lina, Rifa, dan Tika senang. Mereka bersama-sama membuat gerakan tari, mencari musik yang sesuai, dan saling bercanda saat istirahat. Walaupun gerakan tarinya belum seberapa, tetapi mereka sudah sangat bagus membawakan tarinya bersama.
“Hari ini sangat menyenangkan Lin, aku jadi semakin suka menari deh,” ujar Tika sambil tersenyum senang.
“Iya Tik, aku juga senang sekali, ini kesempatan kita untuk menunjukkan bahwa anak muda juga mampu berkreasi dan mengangkat budaya jawa. Dan ini tidak membosankan seperti yang orang pikir.” kata Lina bersemangat.
“Gimana latihan hari ini? masih semangat buat kedepannya?” tanya Rifa. Mereka berdua mengangguk dengan senyuman. Rifa memberikan acungan jempol kepada mereka berdua. Latihan hari ini berakhir karena hari sudah semakin sore.
Menit demi menit, Jam demi jam, hari demi hari, hingga tiga minggu sudah terlewati. Gerakan tari yang dirancang oleh Lina, Rifa, dan Tika mulai menampakkan kesuksesannya. Walaupun belum selesai, tetapi mereka akan berusaha membuat setiap detik yang mereka tarikan menjadi sempurna. Dengan semangat yang Rifa berikan kepada Lina dan Tika menjadikan mereka semakin bersemangat. Mereka sering melewatkan waktu untuk bermain dan sering berlatih tari hingga malam. Kadang mereka juga ditegur oleh orangtua mereka, tetapi mereka bersikeras untuk tidak berhenti berlatih agar tari yang mereka bawakan tidak mengecewakan. Sore itu latihan berakhir pukul 5. Lina, Rifa, dan Tika berkemas untuk pulang.
“Lina, jika besok aku tidak bisa latihan, kamu dan Tika harus tetap latihan ya? Untuk kesuksesan kelompok tari kita ini,” ucap Rifa sambil tersenyum sedih.
“Kok ngomong gitu sih Mbak?” Protes Lina. Tika mengangguk setuju dengan pertanyaan Lina. Tapi Rifa hanya tersenyum dan menggeleng.
“Ngg.. aku pulang duluan ya,” Ucap Rifa dan berlalu. Hal itu membuat Tika dan Lina merasa sedikit aneh. Tapi keduanya tak lagi membahas masalah itu. Mereka hanya tahu, Rifa sangat ingin mereka bertiga bisa mengikuti kompetisi tari ini.
Malamnya, handphone Lina bergetar. Tampak ada beberapa pesan masuk yang terlihat dari layar. Saat Lina membaca pesan itu, Lina terlihat tegang dan kaget. Handphone-nya jatuh dari genggaman. Pesan itu membuat sekujur tubuhnya lemas dan Lina jatuh tersungkur di depan rumahnya sambil menangis histeris. Ternyata pesan tersebut berasal dari beberapa temannya, mereka mengabarkan berita duka. Rifa mengalami kecelakaan saat perjalanan pulang dari sekolah dan mengalami luka parah di bagian kepala dan kaki yang menyebabkan dirinya menghembuskan napas terakhir di tempat kejadian. Seluruh otot tubuh Lina mengendur. Ia begitu lemas dengan kesedihan yang mendalam.
Seseorang yang kini telah dilapisi oleh kain putih masih menjadi tangisan di rumah duka. Banyak orang yang tak sadarkan diri karena merasa tak percaya jika Rifa pergi secepat itu. Teman-teman, guru, dan saudaranya memenuhi rumah duka. Mereka ingin melihat seseorang yang sangat mereka sayangi untuk terakhir kalinya. Setelah acara pemakaman selesai, para pelayat mulai pergi karena panasnya sinar matahari. Lina, Tika dan keluarga Rifa masih menangisi tanah bertabur aneka bunga di hadapan mereka. Setelah pulang dari pemakaman itu, Lina teringat akan lomba tari yang ia tekuni bersama Tika dan Rifa tinggal seminggu lagi. Lina sudah tidak memikirkan hal itu lagi. Lina ingin berhenti latihan lagi. Tiba-tiba terdengar bunyi ketukan pintu. Saat Lina membukanya, terlihat Tika yang masih mengenakan baju berwarna serba hitam.
“Ada apa Tik? Maaf aku sepertinya tidak akan lagi menari. Jadi ini, apa yang dikatakan Mbak Rifa sore itu? Sampur yang dia sampirkan di pundakku itu, apa artinya?” Ucap Lina lesu. Air matanya masih mengambang di pelupuk.
“Apa yang kamu katakan barusan? Kamu masih tidak mengerti?” tanya Tika tak percaya.
“Aku serius.” Jawab Lina lagi.
“Kamu ingat tidak perjuangan kita? Perjuangan kamu dan Mbak Rifa? Yang bela-belain latihan sampai malam, yang kita lakukan bersama, Kamu ingat? Mbak Rifa yang selalu memberikan semangat untuk kita, walaupun kadang kita mengeluh. Ingat? Dan.. impian kita melestarikan budaya jawa di Gunungkidul ini?” Tukas Tika menahan kesedihannya.
“Aku tahu, tapi.. aku akan selalu teringat mbak Rifa jika aku menari lagi,” ungkap Lina.
“Aku juga sama seperti kamu Lin. Aku juga pasti akan teringat sosok mbak Rifa saat menarikan tari itu. Tetapi apakah kamu tidak berpikir kalau kita berhenti menari akan membuat mbak Rifa sedih? Seharusnya kita menghargai perjuangannya agar kita terus berkarya dalam seni tari di daerah kita,” jelas Tika. Lina tersentuh mendengar jawaban Tika.
Akhirnya dengan banyak ajakan dan permintaan yang sangat mendalam dari Tika, semangat Lina bangkit lagi.
“Baik, aku akan melanjutkan semua usaha kita. Mbak Rifa sudah pergi, tapi semangatnya masih ada di sini. Di sampur ini.” Ucap Lina akhirnya. Tika mengangguk haru.
Akhirnya mereka harus mencari seorang penari lagi, mereka kebingungan karena waktu sudah semakin sedikit.
“Aku akan memohon pada Putri. Aku yakin dia pasti mampu dan mau, jika dia benar-benar mengerti kepergian Mbak Rifa.” Usul Lina. Tika pun setuju dan keduanya menemui Putri. 

Hasilnya, Putri bersedia bergabung ke dalam kelompok tari mereka setelah mendengar kabar tentang kepergian Rif. Lalu mereka mulai berlatih tari seperti dulu lagi tanpa Rifa. Mereka dengan sabar mengajarkan Putri gerakan demi gerakan. Tak terasa lomba tinggal esok hari. Putri sudah bisa menguasai seluruh gerakan dengan sangat indah karena daya tangkapnya tinggi. 

Lomba yang ditunggu-tunggu pun tiba. Para peserta lomba yang telah hadir di gedung tari tersebut sangatlah beragam. Kostum yang mereka gunakan sangat indah dan menarik. Tetapi Lina, Putri dan Tika selalu optimis. Saat pengambilan nomor, mereka mendapatkan urutan tampil terakhir dari 24 peserta lomba. Itu tidak menyurutkan percaya diri mereka.

Satu per satu para pementas tampil di depan dengan tarinya yang sangat unik dan menarik. Hingga sampailah pada nomor urut ketujuh. Lina, Putri, dan Tika selalu berdoa dan berharap agar penampilan mereka sekaligus penampil terakhir jauh lebih istimewa dibanding sebelumnya.

 Saat mereka naik ke panggung, Tika agak gugup dan gerakannya agak terpatah-patah. Lina yang melihatnya berusaha memberikan senyuman bebas kepada para juri. Tika yang saat itu melihat Lina menari dengan santai mulai mengikutinya dan beranggapan hari ini dia latihan tari seperti biasanya. Setelah turun dari panggung, mereka bertiga dipersilakan duduk di kursi para penampil untuk mendengar peraih juara yang akan dibacakan oleh juri. Lina, Putri, dan Tika sangat penasaran dan tetap bersikap tenang. Saat diumumkan pemenang ketiga, mereka agak mendesah karena bukan kelompok mereka yang disebutkan.
 
“Juara kedua diraih oleh peserta dengan nomor undian 3,” teriak sang pembawa acara. Mereka semakin putus asa saat juara kedua juga tidak diraih oleh mereka. “Dan juara pertama adalah… peserta dengan nomor undian 15! Selamat kepada para pemenang!” teriak pembawa acara yang membuat hati Lina, Tika, dan Putri tercabik-cabik. 

Mereka sangat kecewa karena mereka tidak bisa membawa piala seperti yang diinginkan almarhumah Rifa dulu. Tetapi terlihat seorang juri yang naik ke atas panggung dan membisikkan sesuatu kepada pembawa acara. “Oh ternyata, masih ada satu piala lagi untuk juara koreografi favorit! Selamat kepada para nomor undian 7 yang berhasil meraih juara koreografi favorit!” Teriak pembawa acara membuat mereka syok.

“Keempat juara kita ini, akan ditampilkan pada Perayaan HUT Gunungkidul tahun ini.” Tambah sang pembawa acara. Tika, Lina dan Putri tidak percaya nama mereka disebutkan. Mereka saling berpelukan dan berteriak histeris. 

Mereka sangat bangga saat piala, piagam serta uang pembinaan mereka bawa pulang, meskipun mereka belum berhasil menjadi juara pertama. Kemudian mereka menuju ke makam Rifa, dan menunjukkan piala juara koreografi favorit hasil jerih payah mereka. “Mbak, kita berhasil mendapatkan apa yang mbak Rifa impikan,” kata Lina sambil meletakkan piala itu di atas tanah bercampur bunga yang telah mengering.

Mungkin apa yang kita impikan tidak akan selalu terwujud, tapi jika kita berusaha, pasti akan ada sesuatu yang dapat kita raih. Sekecil apapun itu.

Cerpen Karangan: Gabriella Ryantica
Facebook: Gabriellryantica

No comments:

Post a Comment