Bukan darah, bukan luka tembak, bukan bekas jahitan. Aku tidak takut
dengan mereka. Kematian karena kecelakaan tragis, penuh luka tusuk,
bahkan tubuh termutilasi. Aku pernah melihat semuanya. Menyaksikan
kejadian-kejadian seperti dalam adegan film thriller.
Seorang wanita
bertangan dingin yang menangani ratusan manusia di ambang kematian.
Bahkan para malaikat mendampingiku. Menunggu waktu yang tepat untuk
mencabut organ vital khayal pasienku yang malang. Aku tidak takut
kematian, aku tidak takut mati. Mereka seolah teman setiaku sepanjang
hari. Kematian mondar-mandir di sini. Di tempat aku menghabiskan hampir
tiga per empat waktuku dalam sehari. Tanganku adalah alat perantara
kuasa sang pencipta.
Seolah takdir mereka tergantung hasil pekerjaanku. Lewat pisau bedah,
ruang yang dipenuhi alat-alat steril, dan keyakinan aku dapat menunda
aksi malaikat. Namun, satu ketakutan terbesarku adalah ketika waktu
kematian tiba untuk beberapa orang khusus. Pertama kali sebagai
seseorang yang diyakini bisa menyelamatkan nyawa banyak manusia aku
ketakutan.
Benar-benar mengerikan hingga kakiku melemas tak sanggup
menopang beban tubuhku. Beban kesedihan, kekhawatiran, dan kerinduan.
Tanganku membungkam mulutku sendiri agar tidak mengeluarkan jeritan
histeris. Walau berteriak pun adalah hal yang wajar dalam keadaan
begini. Sesuatu yang nyata yang tidak ingin ku anggap benar ditangkap
oleh retina mataku.
Luka tembak seperti yang biasanya aku lihat, bercak darah segar yang
tampak familiar lengkap dengan aroma anyirnya. Yang berbeda dan
membuatku merinding adalah pemilik mereka. Seorang pria berpakaian
formal berjas sedang memejamkan mata dalam damai. Dia terbaring lemah di
atas kasur bergerak khas rumah sakit. Aku, tidak, kami menariknya ke
luar dari mobil putih pengangkut orang sakit, orang terluka, dan orang
mati. Mati? Entah kenapa kata itu jadi terdengar sensitif di indra
pendengarku setelah bertemu pria ini dalam keadaan memilukan.
Aku berharap Arga sedang bergurau. Hanya salah satu candaannya untuk
menciptakan kejutan setelah pertemuan terakhir kami satu bulan lalu. Ya,
nama pria yang sekarang sedang menerima perawatan dasar ini adalah
Arga. Setidaknya itu nama yang dia perkenalkan padaku sejak pertemuan
awal kami satu tahun lalu. Bukan waktu singkat untuk mengerti tentang
seseorang. Kendati begitu, pekerjaannya yang mengikrarkan rahasia
sebagai sebuah asas menjadikan sepasang kekasih ini terasa seperti orang
asing. Pria yang tampan, bukan pecundang, menyenangkan, dan misterius.
Deskripsi Arga di mataku.
“Kau akan pergi? Ke mana? Berapa lama? Dan bisakah kali ini aku tahu
apa yang akan kau lakukan? Pekerjaan seperti apa yang mengharuskanmu
membatalkan kencan kita untuk kesekian kalinya?” Kami bertatapan lekat.
Seperti deja vu. Pertemuan kami, perpisahan kami, dan kencan kami selalu
berakhir seakan-akan dia akan pergi jauh selamanya. Perasaan risau
selalu muncul dalam momen dan atmosfer serupa. Pekerjaan untuk menjaga
keamanan dan pertahanan negara tidak sesederhana kedengarannya. “Aku
tidak boleh tahu, kan? Kenapa? Apa aku masih bukan orang yang pantas
mengetahuinya?”
“Kita sudah sering membahas ini, Reina. Ini bukan yang pertama
kalinya. Kenapa kau selalu meributkan hal yang sama?” Benar, bukan yang
pertama aku ingin tahu ke mana Arga akan pergi, apa yang dia lalui
selama tidak bersamaku, bagaimana keadaannya. Apa keinginanku adalah hal
langka bagi seorang kekasih? Hanya hal-hal kecil dan dasar tapi menjadi
rumit karena dia Arga. Seseorang yang mengangkat senjata, melindungi
dan menyelamatkan orang lain dari peluru dengan menembakkan peluru,
mengumpamakan seragamnya sebagai kain kafan.
Aku tidak bisa untuk tidak mencurahkan amarahku pada pria yang dengan
gagah mengenakan seragam kebanggaannya ini. Aku tidak yakin itu kencan,
itu hanya waktu senggang saat jam istirahatnya. Arga bisa kapan saja
menerima panggilan dari ponsel pintarnya lalu ya begitulah akhir
perjumpaan kami. Tidak akan sempurna tanpa percekcokan khas kami. Kami
sibuk bekerja dan saat bertemu kami bertengkar. Sungguh hubungan yang
dramatis.
“Aku selalu mendebatkan hal yang sama karena kejadiannya selalu sama
dengan alasan yang sama. Aku ragu, apa selama ini kita benar-benar
menjalin hubungan? Kenapa aku merasa hanya aku yang menjalaninya? Kau
tidak bisa mengatakan apa yang ingin aku ketahui, kau berbohong tentang
sesuatu yang kau pikir tidak penting untuk aku mengetahui kebenarannya.
Asal kau tahu, apa pun itu menjadi penting jika menyangkut dirimu.”
“Maafkan aku. Aku hanya tidak ingin kau khawatir.”
“Jika itu keinginanmu kau telah gagal. Semakin kau membohongiku agar
tidak khawatir kau membuatku dua kali lebih khawatir. Jadi berjanjilah
untuk tidak berbohong lagi padaku!”
Seorang dokter memasuki ruangan yang sudah dipersiapkan dengan detail
untuk Arga. Dokter pengganti yang mengambil alih jadwal bekerjaku.
Rekanku menyadari tangan ajaib Dokter Reina tidak akan berhasil bagi
pasien satu ini. Aku bahkan tidak sanggup melihat tubuh pasinya yang
berlumuran cairan kental berwarna merah. Apa jiwa penyelamatku lumpuh
karena pria yang bahkan dengan senang hati meninggalkanku demi tugas
negara? Tapi aku? Karena dia aku malah melepas tanggungjawabku sebagai
dokternya. Reina, sadarlah! Ruangan ini untukmu mengenakan sarung tangan
dan masker. Bukan terisak sesenggukan karena pasienmu.
“Maaf, aku terlambat karena harus pergi ke markas.”
“Di waktu liburmu mereka masih menyuruhmu bekerja?” Tanyaku retorik.
“Tadi itu mendesak, Reina.”
“Dan perintah?” Arga mengangguk.
Terbukti seperti pernyataannya bahwa perintah adalah nyawa seorang
prajurit. Dia sudah melakukan sumpah. Seharusnya aku menyadari ini
sebelum akhirnya memutuskan untuk menjalin hubungan dengan seorang yang
dipenuhi rahasia. Sebab dia Arga, maka aku tidak akan memilikinya
sendiri. Bangsa dan negara, pemerintah, masyarakat. Arga juga milik
mereka. Mereka mempunyai hak menggunakan apa yang menjadi milik mereka.
Karena aku hanya prioritas kedua maka aku tak bisa banyak menuntut.
“Karena itu perintah maka kau tidak bisa menolaknya. Aku ingin tahu.
Jika negara kita memberi perintah untuk meninggalkanku apa kau akan
melakukannya? Ah, kau selalu melakukannya.”
“Negara tidak akan memintaku meninggalkan seorang wanita hanya karena
dia cantik. Negara kita bukan pencemburu sepertimu.” Cemburu? Jika
negaraku adalah seorang wanita mungkin aku akan melabraknya. Aku merasa
lucu dengan hidupku sendiri.
“Kau selalu bisa membuat lelucon kapan pun dan di mana pun, Kapten.”
“Karena Reina-ku bukan musuh negara atau ranjau yang bisa dihadapi dengan serius.”
Lidahku kelu, tanganku bergetar memegang pisau bedah, air mataku
terserap di masker yang ku kenakan. Dapatkah aku menggoreskan benda ini
ke kulit Arga? Aku sudah lima tahun bergulat di ruang operasi tapi
kenapa pria yang sedang terpejam bagai bayi ini menggoyahkanku. Apa aku
masih sanggup datang ke ruangan penuh aroma antibiotik ini setelah
kekasihku mati di depan mataku oleh tanganku sendiri? Masihkah aku
merasa baik ketika orang-orang memanggilku dengan menyematkan gelar
dokter sebelum namaku?
Arga, jangan buat aku menyesal sudah menuntut ilmu selama enam tahun karena tidak mampu membuatmu tetap hidup!
“Kau hidup.” Kata melegakan itu ke luar dari mulutku sendiri. Aku
tidak perlu melepas jas putih yang sudah melekat padaku tujuh tahun
terakhir ini karena merasa menyesal. Aku tidak jadi kehilangan harga
diriku dan kekasihku. Tidak, mungkin tidak hari ini. Kejadian tadi siang
membuktikan bahwa aku seorang dokter yang menakjubkan. Aku bisa
menyelesaikan operasi dengan sukses sambil menangisi pasienku.
“Sepertinya tidak. Karena aku sedang melihat bidadari berarti aku sudah di surga.”
“Kau harus menjelaskannya. Kenapa kau bisa terluka? Apa kau berkelahi?
Siapa yang menembakmu? Aku tidak peduli jika kau membohongiku lagi. Kau
harus memberikan penjelasan agar aku tidak seperti orang bodoh yang
tidak tahu apa yang terjadi pada kekasihku.”
Air ini menetes begitu saja, membasahi perban di tangan Arga. Bukan
kebohongan yang ingin aku dengar. Tentu saja bukan. Tapi kembali lagi
karena dia Arga maka hanya ada dua pilihan. Dia menceritakan apa yang
terjadi dalam sebuah dusta atau tidak sama sekali. Jelas aku tidak akan
memilihnya bungkam.
“Terima kasih karena sudah menyelamatkanku. Dan maaf sudah membuatmu khawatir.”
“Kau tetap akan selamat meski kau bukan kekasihku. Dan maaf? Kalau kau
sangat menyesal, berjanjilah jangan pernah muncul di hadapanku saat tak
sadarkan diri apalagi dengan penampilanmu seperti tadi.”
Aku merasa hanya memiliki raga dan hati Arga tapi tidak tentang
kehidupannya. Dia menjadi Arga kekasihku saat bersamaku dengan segala
ketampanan, kebaikan, dan leluconnya.
Namun dia menjadi Kapten yang
memimpin sebuah perang, menerima misi, dan hal ekstrim lain saat tidak
bersamaku. Kembali menjadi Arga yang misterius. Aku tidak tahu apa yang
dia lakukan saat tidak denganku. Benar-benar tidak tahu. Yang aku
ketahui Arga melakukan pekerjaan dengan mempertaruhkan nyawanya. Sangat
beruntung bangsa ini memiliki pelindung yang setia seperti dia dan
tampan.
“Siapa dia? Apa dia temanmu?” Aku turut bersamanya saat dia
menghadiri upacara sakral pemakaman seseorang. Meski diizinkan ikut, aku
hanya boleh menetap di mobil. Terkadang aku merasa apa dia sangat
peduli padaku atau kehadiranku di sekelilingnya mengusik kegiatannya.
“Dia rekanku dalam beberapa misi sebelum aku menjadi kapten.”
“Jika dia seprofesi denganmu.. jadi.. mungkin bisa juga kau akan..”
“Reina, pikiran buruk akan menjadi benar-benar buruk jika kau terus
memikirkannya. Mulai sekarang hanya berpikirlah aku akan selalu kembali
kepadamu.”
“Kau sudah berjanji.”
“Itu bukan janji. Tapi sebuah harapan.”
“Maka jadikan itu sebuah janji. Berjanjilah seperti seorang prajurit
yang bersumpah tidak akan mengkhianati negaranya. Dengan begitu kau akan
selalu kembali padaku, Kapten Arga.”
Pada akhirnya Arga selalu kembali kepadaku. Aku menerima kehadirannya
dengan segala situasinya. Arga memang seorang prajurit yang memegang
teguh janji sebagai harga dirinya. Namun, aku merutuki kebodohanku dan
kenaifanku. Aku hanya memintanya berjanji untuk kembali. Tidak
menekankan apakah dalam keadaan hidup atau mati.
TAMAT
Cerpen Karangan: Ennofira
No comments:
Post a Comment