Waktu menunjukkan bahwa senja segera tiba. Di ruangan sederhana,
terlihat jelas barang-barang berserakan, sudah, sangat tidak beraturan.
Menggambarkan sang pemilik ruangan, persis. Belum terlalu gelap saat
itu, biasan cahaya merah bercampur jingga dari celah sempit di jendela
menyinari wajahnya.
Wajah resah, gelisah, lelah, lesu, lunglai, lengkap
dengan bekas keringat yang menempel, membuat rupanya selalu seperti itu,
berantakan. Tak ada aktivitas lain setelah berlama-lama menatap laptop,
selain melamun, meratapi, dan berbincang dengan dirinya sendiri. Selama
ini ia hanya memikirkan dunianya, merencanakan ‘bagaimana aku bisa
dapat uang yang banyak?’
Tidak ada profesi khusus, jika ia ditanya, ‘Sebenarnya, apa pekerjaanmu?’
Bekerja sebagai penjual iklan (entah iklan apa). Yang pasti, ia
menghasilkan uang dengan cara berjualan iklan di internet, menjual ke
luar negeri kemudian hasil yang ia dapatkan, berupa US$. Setiap harinya
begitu terus. Ia mengumpulkan uang asing, kemudian menukarkannya dengan
Rupiah. Haris memang orang yang tidak kenal lelah, aku mengenalnya sejak
SMA. Namun sejak SMA juga, aku tidak melihat adanya perubahan yang
lebih baik dari pribadinya sampai saat ini. Setelah lulus SMA ia tidak
ingin kuliah, malah ikut merantau denganku karena aku kuliah di luar
daerah tempat tinggalku.
Dia memang berasal dari keluarga tidak mampu, dia merantau sejak SMA
karena tempat tinggalnya yang jauh dari pendidikan. Berjalan ke sekolah
harus menempuh kiloan meter. Apadaya, ia hanya berjalan mengikuti arus
hidupnya. ‘Tak ada pilihan lain untuk sementara, selain mencari uang.’
itu katanya. Tapi setelah sekian tahun, sampai aku memasuki semester 3
di perkuliahanku, ia tetap pada pilihannya. Tak ada ilmu, pengetahuan,
dan pendidikan. Hanya banyak wawasan tentang dunia, karena seringnya ia
menjelajah dunia, Dunia Maya.
“Ris, sudahi dululah. Maghrib ini. Ayo ke masjid!”
“Nanggung ini Zul, dikit doang!”
“Ayolah Ris, keburu iqomah!!”
“Iya, ya, ya, kamu duluan aja. Aku nyusul entar..”
“Astaghfirullahaladzim, bener nyusul nggih?”
“Nggih ustadz Zulkifli.”
“Nanggung ini Zul, dikit doang!”
“Ayolah Ris, keburu iqomah!!”
“Iya, ya, ya, kamu duluan aja. Aku nyusul entar..”
“Astaghfirullahaladzim, bener nyusul nggih?”
“Nggih ustadz Zulkifli.”
Sulit sekali diajak on time untuk salat Fardhu, itulah Haris. Dia
terlalu disibukkan dengan laptop, dengan urusan-urusan bisnis, dan
keuangan. Serta beberapa hal yang menggiurkan yang ada pada DuMay (Dunia
Maya). Kadang ia lupa ‘Aku tadi sudah salat belum ya?’ Seperti ini
memang sudah gawat darurat, bahaya. Hal semacam ini sudah sepatutnya
menjadi tanggungjawabku untuk menyadarkannya. Seorang yang dekat
denganku, yang sudah beberapa tahun mengikutiku ke perantauan, dan satu
atap denganku, ia muslim dan ia saudaraku, ia berjuang bersamaku tapi
sampai saat ini, aku belum berdakwah padanya. Aku terlalu asyik dan
sibuk mencari ilmu juga, hingga lupa bahwa aku harus menyampaikannya.
Aku terlalu egois memperbaiki diriku sendiri, hingga aku tak peduli ada
orang di sampingku yang perlu diperbaiki.
Ini salahku, aku tak menyadarinya selama ini. ‘Ya Allah ke mana saja
aku?’ Ibarat tanah yang keras yang mampu menahan air, maka air itu
dimanfaatkan orang lain. Aku banyak mengumpulkan ilmu dan menghabiskan
waktuku untuk ilmu, tetapi aku masih sedikit mengamalkan ilmuku ke orang
lain. Yang seperti ini juga wajib diperbaiki. Aku harus segera
mengingatkannya! Malam ini hujan, aku ingin menikmati udara malam di
samping kos-kosan, udara yang bercampur aroma khas tanah yang tersiram
air dari langit itu. Tak bisa didustakan, bahwa hujan turun adalah
rahmat Allah yang luar biasa. Aku menggigit bibir dan membuang napas
tipis sambil melihat gelapnya langit. Aku hanya ingin mengamatinya.
Tiba-tiba saja lamunanku terpecahkan oleh suara petir, “Zul! Zul!! Zulkif.. Nah ini dia!”
“Allahuakbar, apa sih?” Ada dua petir di sini, yang pertama petir dari Allah yang rasa-rasanya suara itu telah membelah dadaku, yang kedua Haris berteriak memanggilku bersamaan dengan datangnya petir suaranya merusak telingaku. “Zul, parah ini Zul, parah, parah!”
“Allahuakbar, apa sih?” Ada dua petir di sini, yang pertama petir dari Allah yang rasa-rasanya suara itu telah membelah dadaku, yang kedua Haris berteriak memanggilku bersamaan dengan datangnya petir suaranya merusak telingaku. “Zul, parah ini Zul, parah, parah!”
“Mukamu itu parah, belum mandi kan?”
“Zul serius ini, aku baru saja bisa ngumpulin 900US$, aku harus mengganti laptopku dengan laptop baru yang lebih canggih Zul. Tapi Ibuku di kampung sakit, dan dirawat inap, aku harus bagaimana Zul? Aku susah payah untuk ini, tapi kenapa pake ada acara sakit segala Ibuku ini!”
“Astaghfirullahaladzim, itu kamu sedang diuji Ris. Sekarang, sudah
berapa lama kamu ndak balik ke kampung halamanmu? Sudah berapa tahun
kamu itu ndak ngasih perhatian sedikit saja pada Ibumu? Kamu sudah fatal
Ris. Kamu termakan dunia! Berapa kali kamu melakukan kebaikan? Berapa
banyak kamu melakukan kesalahan?”
“Zul, hidup ini kan ndak instan. Makanya aku kerja keras!”
“Kerja keras untuk duniamu saja kan? Mana pernah kamu bekerja keras
untuk akhiratmu? Ris, asal kamu tahu kebaikan sebesar biji zarah akan
dicatat oleh malaikat, pun keburukan sebesar biji zarah saja akan
dicatat juga oleh malaikat! Lalu, berat mana antara amal baik dan amal
burukmu? Kamu hanya memikirkan duniamu saja. Padahal kamu juga punya
kehidupan setelah mati Ris. Apakah uang US$ yang kamu kumpulkan
bertahun-tahun itu akan berguna di sana kelak? Mikir dong Ris!” Haris
hanya terpaku mendengar bait-bait kalimat yang terucap dari lisanku. Ya
Allah sadarkanlah Haris.
“Aku harus bagaimana Zul? Aku memang rapuh selama ini Zul. Memang
kalau dipikir-pikir aku belum pernah melakukan kebaikan apa pun, paling
cuma salat, itu pun karena kau ingatkan. Dan, aku sering berbohong Zul
pada Ibuku, aku bilang aku sekarang kuliah bersamamu dan waktuku terlalu
singkat saat masuk kuliah jika aku harus pulang. Sedangkan kenyataannya
aku seperti ini..” Haris menyadarinya, dia duduk di sebelahku
membungkukkan badannya, tangannya menyentuh dada, seakan-akan ia sedang
sakit hati. Sakit hati dengan dirinya sendiri. Menangis tersedu sebagai
bentuk kesedihan yang ia rasakan, kesedihan yang mendalam.
“Pulanglah Ris, luluskan ujianmu ini. Ujian dari Allah. Kamu tidak
menemui Ibumu sama sekali semenjak lulus SMA, kamu tidak akan pernah
tahu kejadian yang akan datang. Ini akan menjadi kebaikan terbesarmu,
bukan kebaikan yang hanya sebesar biji zarah. Lawan musuh besarmu Ris,
musuh besarmu adalah hawa nafsumu..” Haris masih berpikir, pikirannya
pasti kacau. “Jangan banyak berpikir Ris, ini bukan untuk dipikirkan,
segeralah mengambil langkah. Tidak ada gunanya kamu berpikir dalam
bertindak saat seperti ini, saat kamu harus segera menemui wanita yang
melahirkanmu di dunia ini, yang sejak kecil hingga kamu dewasa, beliau
yang ada setiap kau membutuhkannya, beliau pahlawanmu. Saat ini kamu
yang menjadi pahlawannya.”
Haris menarik napas perlahan, “Baiklah. Nanti malam bangunkan aku, aku ingin salat tahajjud bersamamu Zul,”
“Insyaa Allah aku bangunkan,”
“Setelah subuh antar aku ke terminal ya Zul?”
“Jadi besok kamu langsung berangkat?”
“Ya, sudah aku niatkan. Ibu pasti merindukanku Zul. Kasian Ibu..”
“Kalau begitu, segera istirahat. Siapkan dirimu untuk besok..” Haris beranjak dari duduknya, berjalan menuju kamarnya. Aku pun juga segera tidur.
“Insyaa Allah aku bangunkan,”
“Setelah subuh antar aku ke terminal ya Zul?”
“Jadi besok kamu langsung berangkat?”
“Ya, sudah aku niatkan. Ibu pasti merindukanku Zul. Kasian Ibu..”
“Kalau begitu, segera istirahat. Siapkan dirimu untuk besok..” Haris beranjak dari duduknya, berjalan menuju kamarnya. Aku pun juga segera tidur.
Sepertiga malam datang, aku terbangun dari lelapku. Membangunkan
Haris, sesuai dengan pesannya semalam. Ia ingin salat tahajjud
bersamaku. Ini pertama kalinya, Haris bangun untuk salat tahajjud. Usai
salat tahajjud, Haris segera berkemas. Kami berangkat sebelum subuh ke
terminal. Memang cukup jauh, jarak antara kos dengan terminal. Memakan
hampir satu setengah jam perjalanan. Sampai di terminal, adzan subuh
berkumandang, seruan itu membuatku lega, aku masih bertemu dengan subuh.
“Zul, subuh dulu ya?”
“Ya dong..” Haris benar-benar berubah dalam kedipan mata.
“Ya dong..” Haris benar-benar berubah dalam kedipan mata.
Kami melaksanakan salat subuh berjama’ah di masjid dekat terminal.
Setelah selesai salat, aku langsung ke luar masjid. Aku tengok kanan
kiri, Haris tak ada. Ternyata ia masih di dalam masjid. Ia ke luar
setelah aku menunggunya selama 5 menit. “Ayo Zul!”
“Hati-hati Ris nanti dalam perjalanan, jangan lupa dzikir, sebisamu lah dzikir apa. Maaf selama ini aku egois, belum mengajarkan ilmu yang aku dapat padamu..”
“Tak apa, setelah pulang dari kampung halaman, ajari aku banyak hal tentang Islam..”
“Insyaa Allah.”
“Hati-hati Ris nanti dalam perjalanan, jangan lupa dzikir, sebisamu lah dzikir apa. Maaf selama ini aku egois, belum mengajarkan ilmu yang aku dapat padamu..”
“Tak apa, setelah pulang dari kampung halaman, ajari aku banyak hal tentang Islam..”
“Insyaa Allah.”
Sampai di depan masjid, Haris menengok ke arah kiri dan berteriak,
“Awas!!!” Ia berlari menyelamatkan ibu-ibu paruh baya yang nyaris
tertabrak mobil, didorongnya ibu itu, dan Haris tertabrak mobil hingga
tubuhnya terpental dan terguling beberapa meter. “Allahuakbar, Haris!!!”
Aku berlari mendatangi Haris, kepalanya terbentur aspal, hingga darah
segar mengalir di pelipisnya, mulutnya pun penuh darah. Ia hanya diam.
Tak mengucapkan apa pun. Beberapa detik aku baru meletakkannya di
pangkuanku, napas akhirnya berhembus. “Innalillahi wa innailaihi
rooji’un.”
Cerpen Karangan: Dyari Tsani
Facebook: Lisnadya
Facebook: Lisnadya
No comments:
Post a Comment