Thursday, September 22, 2016

Presentasi Air Soda

Suara lonceng di ambang pintu itu selalu menjadi melodi yang menyisir semangatku. Saat pertama kali ku buka pintu itu, gemercik lonceng nan manis itu menyapaku dengan lembut. Seperti ucapan ‘selamat pagi!’ yang diucapkan pacar. 

Tapi tunggu dulu. Pacar? Hahaha… Aku kan gak punya pacar. Lagi pula hanya sebatas perandaian, kan? Hari ini hari selasa. Di balik meja kasir ini tempatku berlabuh, menunggu barang-barang belian pelanggan untuk ditukar dengan pundi-pundi uang. Aku lalu mengecek satu per satu barang belian itu di depan monitor canggih pengecek harga dan memasukkannya ke dalam kantung belanjaan. Di saat itu aku menerima uang dari pembeli dan memasukkannya ke dalam mesin kasir. Begitu seterusnya setiap hari. Kecuali hari libur.
 
Orang-orang memanggilku love. Aku sih gak keberatan meski namaku sebenernya Kecilia Tan. Mungkin karena aku selalu identik dengan simbol hati. Di baju. Di rok. Aksesoris. Selalu ada simbol cinta itu. Maka tak ayal, aku dipanggil love.

 Meski terdengar menggelikan. Tapi aku suka. Imut dan lucu aja kesannya. Supermarket ini adalah supermarket milik mendiang ayahku. Dia sangat suka berjualan sehingga dia membangun supermarket ini dengan murni hasil kerja kerasnya. Sampai di akhir hayatnya, dia menitipkan supermarket ini padaku. Awalnya aku kesal. Kenapa harus aku tapi lambat laun aku menerimanya. Lagi pula ini gak buruk buruk amat. Harusnya aku bangga. Ayahku mau mempercayai aku untuk menjaga asetnya ini.

“Uhh… Kok sepi ya! Tumben. Apa karena cuaca panas?” keluhku di balik meja kasir sambil memainkan komputer. Sampai tanpa tersadar mataku tertutup karena mengantuk.
Kring! Suara lonceng itu membangunkan kantukku. Ku lihat lihat, sepertinya ada pelanggan. Tapi aku tak sempat lihat. Karena di samping kiriku terdapat cctv aku cek ke sana saja. Klik. Aku perbesar layar cctv yang menyorot ke area orang itu. Ku perhatikan orang itu ternyata laki-laki. Dia kelihatan cape sekali, sehingga aku lihat dia tengah meneguk minuman soda dengan cepatnya. Mungkin karena cuaca yang panas. Tiba-tiba laki-laki itu mendekati kasir. “Berapa?” tanya laki-laki itu.

“$2,” jawabku singkat. Laki-laki itu pun memberikan uangnya beserta botol soda itu. Lalu pergi perlahan dari dalam supermarketku. Lonceng itu kembali bersuara. Terdengar lembut sekali. Kok berbeda seperti biasanya ya. Apa karena laki-laki itu yang mendorong pintunya. Ah. Mungkin cuma perasaanku saja.

“Laki-laki itu. Tinggi agak berewok dikit. Matanya..” aku langsung menghentikan lamunanku kala ku ingat mata laki-laki itu. Ada sensasi aneh menjalar hebat dari otak ke jantungku. Aku hanya tersenyum senyum sendiri. Kenapa sih aku jadi merasakan hal seperti ini? Laki-laki itu. Dia orang baru di kota ini. Aku baru melihatnya. Dia seperti orang pindahan dari kota seberang. “Kira-kira dia siapa ya? Tinggal mana? Ih… Aku kok jadi aneh sih. Kenapa aku jadi mikirin dia,” gumamku di dalam lubuk hati. Tanganku mengetuk-ngetuk ke kepala. Ku geleng-gelengkan kepalaku. Sungguh aku aneh seperti orang gila saja.

Malam hari yang masih terasa panas. Ku buka jendela kamar karena hawa panasnya kian menjadi. Musim panas memang begini. Kadang menyusahkan dengan ‘kepanasannya’. Ku sambar ponsel di hadapanku. Lalu seperti biasa, aku jelajahi dunia maya sebagai pembungkam rasa bosan dan pelebur hawa panas. Semula ku lihat-lihat daftar teman facebookku yang aktif. Kemudian aku cek daftar orang yang mungkin dikenal.

“Eh?” tanpa sadar aku bersuara. Perhatianku tertuju pada sebuah akun bernama ‘Thomas Cheng-kai’. Ku lihat saja profil-nya lalu koleksi foto-fotonya. Wah.. Ternyata benar dugaanku. Akun ini milik laki-laki yang tadi ke supermarket. Tak salah lagi. Wajahnya yang agak berewok langsung aku kenali. Dan matanya, aku tahu dialah laki-laki itu. Segera aku ‘add’ dan tinggal menunggu konfirmasi pertemanan. Saat ku lihat profilnya hanya tertera tanggal lahirnya saja yang tanpa tahun. Dan koleksi fotonya hanya 5 saja. Sepertinya dia memprivate akunnya, sehingga hanya sebagian saja yang terdeteksi.

Semenjak melihat laki-laki bernama Thomas Cheng-kai itu meminum air soda. Aku jadi senang meminumnya. Sambil membayangkan wajah Thomas yang kalem dan matanya yang meneduhkan. Aku jadi dapat ide. Jika Thomas datang lagi ke sini dan membeli soda lagi maka aku akan memberinya gratis satu. Dan hanya memperbolehkannya minum di sini. 

Supaya aku bisa melihat wajah tenangnya meneguk air soda yang terlihat suci itu. Pasti rasanya mendebarkan. Seperti menyaksikan ketampanan seorang pangeran dari negeri dongeng. Aduh.. Aku jadi nggak sabar. Sambil meminum air soda aku mengotak-atik komputerku. Melihat wajah Thomas yang menenangkan di facebook. “Aku harus berani. Tanyakan namanya, alamatnya. Kenalan dulu deh kayaknya baru nanya nanya. Aduuuh… Tuhan!” aku jadi gugup sendiri. Padahal belum tentu Thomas bakal ke sini lagi. Hmm… Ya sudah aku teguk lagi deh air soda nya. Sambil menunggu sosok Thomas.

Glek!
Glek!
Huhh… Segarnya.

Kring! Seseorang masuk ke dalam dengan langkah cepat tapi terlihat santai. Cepat-cepat ku sorot layar cctv ke arah orang itu. Ku pandangi terus seolah hanya di situ ada sesuatu yang berkilauan. Lelaki bernama Thomas itu pun meneguk dengan santai minuman soda yang ia genggam dalam sebuah botol kaca. Uhh. Ku pejamkan mata ini. Merasakan kesejukan yang mungkin dirasakan Thomas.

“Ehem!” tiba-tiba mataku terbuka. Dan sosok Thomas sudah berdiri di hadapanku dengan raut muka kebingungan. Kembali wajahnya itu membuatku tersentuh semakin dalam.
“Eh? Maaf. Oh iya. Selamat! Kamu dapat gratis satu botol soda lagi. Tapi minumnya di sini ya. Hehe..” ucapku sambil memberikan sebotol soda padanya. 

Untuk pertama kalinya, aku menyaksikan senyumnya yang lembut dan manis. Astaga. Sepertinya aku telah menyaksikan sinar aurora di siang bolong.
“Ini! Dua dolar kan?” dia lalu menyerahkan botol soda gratis itu dengan keadaan kosong. Dan juga uang dua dolar.

“Makasih. Emm… Ngomong-ngomong, namamu Thomas Cheng-kai kan?” ucapku memberanikan diri.
“Em… Namaku memang Thomas tapi Cheng-kai itu cuma nama ayahku. Kenalkan aku Thomas Choo,” ujarnya membuatku tak menyangka dia akan memperkenalkan dirinya.

Padahal pada awalnya, aku menyangka dia adalah lelaki yang arogan tapi ternyata tidak sama sekali.
“Oh… Namaku Kecilia Tan. Maaf ya aku gak tahu,” kataku sedikit malu. Dia lalu tersenyum sebelum berkata-kata.

“Gak apa-apa. Cheng-kai adalah nama belakang ayahku. Kau pasti tahu lewat facebook kan?” tanyanya kembali membuatku terkejut. “Ah… Benar. Makasih ya sudah menerima pertemananku. Senang kenal denganmu,” ucapku sedikit menyisir rasa malu. Dia kembali memamerkan senyumnya yang meneduhkan. Dalam hati aku bergumam. “Sudah dong! 

Aku gak kuat kalau harus terus lihat senyum kamu. Aku nyerah.” Dia pun meminta nomor ponselku. Terlihat sedikit malu-malu darinya. Tapi anehnya. Hal itu justru membuatku lucu sendiri. “Oke, aku save. Makasih ya! Aku pergi dulu. Sampai jumpa!” ujarnya lalu pergi ke luar dari supermarketku. Tak lupa ia memberiku senyumnya yang menawan. Aku heran. Apa dia titisan lebah madu. Senyumnya itu kok terasa bagaikan madu. Hahaha…

Semenjak itu. Aku dan Thomas kian dekat. Setiap kali dia mampir ke supermarket untuk membeli soda. Aku selalu memberinya gratis. Alasannya sih beragam. Dia memang lelaki yang baik dan lembut. Di balik gaya dan auranya yang arogan.

“Tunggu! Aku heran. Kenapa kau terus terusan memberiku satu botol soda gratis?” tanyanya saat aku memberinya sebotol soda gratis.

“Ah… Itu… Anu… Terima saja. Kau tahu kan, kau itu selalu membeli soda di sini. Makanya aku memberikan ini gratis sebagai hadiah,” dustaku tanpa memandang wajahnya. Alasannya karena aku takut menatap wajah kalemnya. Bagaimana kalau aku membeku. Aduh. Benar-benar tersiksa.
“Apa harus setiap saat aku membeli? Ayo jujur saja. Ada apa? Jangan-jangan kau meracuniku ya?” ucapnya membuatku refleks menatap wajahnya.

“Hey… Mana mungkin aku berbuat begitu. Untuk apa memangnya? Aku bukan psikopat. Aku cuma… Cuma..” seruku lalu tersendat-sendat.
“Ayo cuma apa? Hah?” desaknya dengan sorot mata yang dalam.
“Mati aku!” gumamku dalam hati.
“Aku, aku cuma. Janji ya jangan marah!” sahutku sambil menunduk.
“Oke baik, baik. Apa?” jawabnya tampak penasaran.
“Aku cuma, ingin melihatmu lebih lama lagi, saat kau minum soda itu,” jelasku pelan. Dia sedikit mendongakkan wajahnya ke arahku.
“Hahahahaha,” dia tertawa lepas.

“Kenapa ketawa?” tanyaku heran. Gigi-giginya yang rapi dan putih terlihat berkilau. Satu lagi kebetulan yang pertama kali ku lihat darinya.

“Oh begitu. Haha. Memangnya aku menggoda ya?” tanyanya membuatku terbungkam. Bahaya. Jika aku berkata jujur dia pasti membuatku tersudut. Jika aku bohong, aku pasti kehilangkan momen yang berharga ini. Ahh.. Benar-benar membingungkan.
“Aa…A… Apa sih. Hehe..”

“Hmm… Haha. Aku cuma bercanda kok. Jadi bagaimana? Ini jadi gratis kan?” tanyanya.
“Iya. Tentu. Silakan minum. Gratis,” jawabku dengan ekspresi kecut.
“Aku akan minum ini untukmu!” ucapnya. Lalu ia pun meneguk soda itu dengan cepat. Dia berkata ‘untukmu alias untukku’? Apa ini sungguhan? Oh air soda yang memang terlihat suci itu sepertinya sedang mempermainkanku. “Ini! Dan ini dua dolar. Aku pergi dulu, bye!” ucapnya lalu menyerahkan botol kosong dan uang sebelum akhirnya pergi. Tensi darahku sepertinya mulai naik. Aku pun mengambil sebotol soda dingin dan meminumnya dengan tatapan yang entah ke mana arahnya.

Malam pukul 7.40. Thomas tiba-tiba datang ke rumahku. Dengan membawa dua kaleng soda. Dia mengajakku berjalan-jalan ke dekat danau. Dengan setengah keraguan aku pun menyetujui dan jalan bersamanya. Di tengah cahaya kemerlap lampu-lampu jalan, kami duduk di pinggir danau yang berumput ditemani soda yang sejuk. Pekatnya malam seakan melengkapi kebersamaan ini. Dia sedikit aneh. Tingkahnya agak perhatian padaku. Yang jelas, malam itu dia seperti Thomas sisi b denganku. Lucu.

“Terima kasih!” ucapku sambil tersenyum, lalu memasukkan uang ke dalam mesin kasir. Hari ini lumayan sibuk. Pelanggan datang silih berganti. Mungkin stok makanan di rumah mereka mulai menipis. Makanya hari ini mereka banyak berbelanja di supermarketku.

Cuaca yang panas ditambah kesibukan yang menguras tenaga membuat suhu tubuhku meningkat. Aku minum saja sebotol soda yang dingin. Wah.. Memang manjur. Tiba-tiba aku jadi teringat semalam. Thomas semalam sangat beda. Tutur katanya, sikapnya. Aku rasa ada suatu hal yang ingin dia ungkapkan padaku. Tapi dia seperti menahannya. Kira-kira apa ya? Apa jangan-jangan dia suka lagi sama aku. Ah masa iya dia suka padaku.

“Hey! Melamun saja!” bentak Thomas di hadapanku.
“Loh, kok. Kamu sejak kapan di sini?” tanyaku heran karena dia tiba-tiba sudah ada di depanku.
“Haha… Dari tadi kok. Kau ini kerjaannya melamun saja. Sampai kau tidak sadar aku dari tadi sudah ke sini. Ini seperti biasa!” dia lalu memberikan botol kosong dan uang.

“Hey, kamu mau soda gratis?” sambungnya menawarkan.
“Soda gratis?” tanyaku berlagak bodoh.
“Iya. Haha… Seperti semalam. Bagaimana?” dia memberikan ekspresi yang menggoda. Jujur aku jadi salah tingkah.

“Ah… Itu ya. Baiklah, oke. Hehe,” ucapku kelimpungan. Wajahku sedikit memerah. Thomas tertawa geli. Untuk pertama kalinya dia tertawa begitu, menertawai tingkahku yang konyol.
Udara malam kali ini entah kenapa terasa hangat. Meski soda yang ku minum terasa dingin. Apa mungkin karena keberadaan Thomas. Sikap hangatnya yang membuat suasana jadi terasa ‘warm’. “Sebenarnya, apa sih maksudmu saat kau memberiku soda soda gratis?” tanya Thomas di sela sela keheningan. Suaranya terdengar menggema di telingaku.

“Ah…Eh…Anu…Ah..”
“Haha… Sejujurnya aku sudah tahu maksudmu,” ucapnya membuatku terpaksa menaikkan kedua alisku.
“Benarkah?”
“Aku tahu, kau suka kan padaku?” jleb. Tiba-tiba dia menusuk hatiku dengan pernyataannya. Alamak. Bagaimana ini? Dasar bodoh. Kenapa dia selalu membuatku skak mat seperti ini sih. Ah.. Menyebalkan.
“Huuh… Dasar geer. Kau terlalu percaya diri,” sanggahku mencoba menutupi rasa gelisah.

“Sudahlah. Aku tahu karena kau punya alasan kan. Alasan itu bernama ‘suka’,” dia berkata dengan mantapnya. Jikalau ini adalah peperangan. Maka aku sudah mengibarkan bendera putih pertanda menyerah. “Sudah ah aku mau pulang saja,” ujarku sambil berdiri. Ketika melangkahkan kaki, Thomas memelukku dari belakang. Suasana hangat ini kian bertambah hangat. Malahan terasa bagai bara api yang kian berkobar.
“Aku suka padamu!” bisiknya terdengar geli di telinga.

“Lepasin!” aku mencoba melepaskan pelukannya. Ku lihat raut wajahnya. Dia sepertinya malu atas tindakannya demikian yang sudah memelukku.
“Maaf! Aduh… Aku benar-benar lancang,” ujarnya sambil menggaruk-garuk lehernya.
“Hahahaha,” aku tertawa dengan lepasnya. Rasa geli ini akhirnya keluar juga. Tentunya Thomas merasa sangat keheranan. Terlihat dari wajahnya yang konyol.

“Aduh aduh! Sakit perutku. Maaf ya!” jelasku sambil mengusap air mata.
“Kenapa kau tertawa? Aku jadi takut,”
“Aku cuma geli melihat ekspresimu. Thomas… Kau benar. Aku menyukaimu,” seperti dipukul sebuah palu keberanian. Mulutku dengan lancar berkata begitu.

“Air soda gratis itu. Semua memang alasan supaya aku bisa melihatmu lebih jelas. Tapi sekarang aku sudah bisa melihatmu dengan jelas. Bahkan lebih jelas lagi,” lanjutku dengan nada sedikit teredam.
“Benar kan dugaanku. Hehe. Sekarang aku di sini. Hey! Tataplah mataku, dengar baik-baik. Aku menyukaimu,” dia mengangkat daguku dan mengarahkan pandanganku padanya.
“Apa kau mau menerimaku? Hah?” bisiknya.

“Gimana ya, aku… Aku..” jujur saja saat ini aku seperti disiram air yang suhunya beragam.
Apa ini mimpi. Di sela-sela ini, aku mencubit perutku sendiri. Sakit! Ternyata ini nyata.
“I..Iya aku mau!” ucapku agak menyeringai karena tak tahan menahan gejolak ini. Dia tersenyum lebar lalu memelukku erat. Erat sekali. Jantungnya terdengar kencang sekali berdetak-detak. Lucu. Tapi aku terlalu kikuk. Hanya lewat soda soda gratis itu, perasaanku kepadanya selama ini ku sampaikan. Dan hari ini tepatnya malam yang berbintang ini perasaanku terbalaskan.

Soda-soda itu. Semuanya telah mempresentasikan perasaanku padanya. Rasa dinginnya mampu menyejukkan relung hati. Bunyi airnya yang menyeringai merdu. Rasanya yang mengejutkan lidah. Apa ini yang disebut kesucian air soda? Terutama saat aku jatuh cinta dan terbuai di dalamnya. Bagai menyelaminya saja. Terasa mengapung bebas bersama sosoknya. Iya.. dia, Thomas choo. Lelaki yang gemar sekali membeli soda di supermarketku. Sampai akhirnya dia menyentuh ruang kecil di hatiku. Perlahan membukakan pintunya dan mengatakan ‘ selamat pagi! ‘. Lalu lonceng kecil bersuara dengan imutnya.
“Cheers!”

“Hehe. Cheers!” kami pun saling bersulang botol yang berisi air soda. Lalu meminumnya dengan penuh perasaan cinta. Sejuk. Manis. Rasa ini semoga dapat terjaga. Duhai air soda.

Cerpen Karangan: Fauzi Maulana
Facebook: Fauzi We Lah

No comments:

Post a Comment