Thursday, September 22, 2016

Surga Kecil Yang Hampir Terlupakan

Adi Bima Saputra adalah nama yang diberikan oleh almarhum ayahnya, harapannya agar kelak ia menjadi seorang laki-laki yang kuat dan tangguh untuk menghadapi kehidupannya, seperti tokoh pewayangan hindu kuno “Bima” atau dalam cerita wayang jawa terkenal dengan panggilan raden werkudara yang terkenal dengan kekuatannya.

Sore itu, ayahnya Sutardi meninggal dunia akibat penyakit komplikasi yang dideritanya selama dua tahun. Seperti sudah tahu bahwa umurnya tak lagi panjang, Sutardi ayah Bima memberi pesan pada ibu Bima, Minarsih yang saat itu sedang hamil tua sembilan bulan dan sudah akan mendekati persalinan.

“Bu. Bapak sudah tak kuat lagi dengan penyakit ini, Bapak akan tidur panjang Bu. Tolong jaga dan rawat anak kita dengan sebaik mungkin, Bapak berharap anak kita kelak menjadi anak yang sukses dan tangguh. Tolong beri nama anak kita Adi Bima Saputra ya Bu,” pesan Sutardi yang terkulai lemah di ranjang sambil memegang erat tangan istrinya. “Jangan bicara seperti itu pak. Bapak pasti kuat, lawan sakitnya Pak, demi anak kita,” jawab Minarsih seraya terisak tangis di hadapan suaminya.

Tak lama kemudian Sutardi mengalami sakaratul maut. Para tetangga yang datang mulai membacakan dzikir tahlil untuk mengantar kepergian Sutardi. Tangisan bertumpah ruah di gubuk kecil itu. Belum selesai tahlil dipanjatkan Sutardi sudah menghembuskan napas untuk terakhir kalinya. Beberapa tetangga berusaha mengangkat Minarsih yang jatuh pingsan sambil mengipasinya, sedangkan beberapa sesepuh desa mulai sibuk mempersiapkan pemakaman Sutardi.

Sehari setelah kepergian Sutardi, Minarsih pun merasakan kontraksi pada kandungannya atas usul dari para tetangga, dibawalah Minarsih ke dukun bayi di kampung sebelah. Selang beberapa jam kemudian lahirlah seorang bayi laki-laki yang kemudian diberi nama sesuai dengan pesan dari sang suami. Sutardi memang seakan sudah tahu bahwa kelak dia akan memiliki seorang anak laki-laki, itulah mengapa dia hanya memberi amanat nama untuk anak laki-laki pada Minarsih.

Hari-hari dilaui Minarsih untuk merawat Bima seorang diri tanpa ada bantuan dari sanak saudara mana pun. Karena sebenarnya Minarsih dan Sutardi bukanlah warga asli desa tersebut, melainkan mereka adalah perantau yang datang ke desa tersebut untuk bersembunyi dari orangtua Minarsih, sebenarnya pernikahan Minarsih dan Sutardi tak direstui orangtua Minarsih akibat Sutardi hanya bekerja sebagai kuli bangunan yang tak tentu gajinya. Terkadang Minarsih menerima bantuan dari para tetangga yang merasa iba dengan keadaan ekonominya, semenjak Sutardi mulai sakit-sakitan Minarsih hanya mengandalkan kemampuannya sebagai buruh cuci di rumah setiap tetangga yang membutuhkan jasanya.

Bima terlahir sudah menjadi seorang yatim. Betapa malang sekali nasib Bima, sejak lahir ia tidak bisa merasakan kasih sayang utuh dari kedua orangtuanya, yang ia miliki kini hanya seorang ibu yang selalu menyayanginya. Bima pun tumbuh menjadi anak yang lembut dan baik. Ini karena asuhan utuh seorang ibu padanya. Sikap dan watak Bima memang benar-benar lain dari anak laki-laki seusianya yang nakal dan sulit diatur oleh orangtua, Bima selalu patuh dan gemar membantu ibunya bekerja.

Hari-hari mereka lalui berdua dengan rasa saling menyayangi, tak jarang Bima menggantikan kerjaan ibunya saat Minarsih sedang sakit, Bima tak mengeluh bahkan ataupun merasa malu. Justru Bima merasa senang bisa membantu beban pekerjaan ibunya, tak jarang saat ibunya sakit dia yang merawat membuatkan makanan dan meracik obat dari dedaunan untuk ibunya.

“Terima kasih Nak, harusnya tak perlulah kau melakukan ini. Ini kerjaan Ibu, Nak. Sudah. Beristirahatlah sana,” kata Minarsih pada Bima.
“Tak apa Bu. Bima tidak keberatan membantu Ibu, bahkan bisa merasa senang bisa membantu Ibu. Bima sayang Ibu, apakah Ibu juga sayang pada Bima?” jawab Bima sambil memeluk ibunya yang sedang terbaring di ranjang. “Tentulah Nak.. Ibu sayang Bima,” jawab Minarsih.

Suatu hari sepulang sekolah, Bima bertanya pada ibunya, “Bu, Ayah Bima mana? Apakah Bima tidak punya Ayah Bu?” tanya Bima pada ibunya. “Kenapa Bima tiba-tiba tanya seperti itu?” jawab Minarsih.
“Tadi di sekolah membahas tentang kasih sayang orangtua, termasuk Ayah, kenapa Bima tak ada Ayah selama ini bu? Apakah Ayah itu hanya dimiliki oleh sebagian orang Bu?” tanya Bima dengan polosnya.
“Tidak Nak. Setiap anak itu pasti punya orangtua Ayah dan Ibu, Bima juga punya Ayah. Sama seperti yang lain,” jawab Minarsih, mencoba menjelaskan.

“Lantas.. Di mana Ayah Bima Bu. Kok Bima tak pernah melihatnya? Kalau setiap anak punya Ayah, lantas di mana pula Ayahnya Tinur dan Abenk?” Bima terus mencecari ibunya dengan pertanyaannya.
“Begini Nak, Ayah Bima sekarang sudah di surga di samping Tuhan Nak. Sedangkan Ayahnya Tinur juga sudah ke surga, nah, kalau Ayahnya Abenk sudah tidak bersama dengan Abenk dan Ibunya,”

“Oh. Begitu ya Bu, ada urusan apa Ayah ke surga Bu. Apakah Ayah bekerja pada Tuhan Bu. Sehingga Ayah dipanggil ke surga?” Minarsih tak mampu lagi menjawab pertanyaan anaknya itu. “Sudahlah Nak. Suatu saat nanti kau akan mengerti sendiri alasannya, sekarang bantulah Ibu untuk mengangkat cucian ini ke jemuran belakang,”

“Baiklah Bu.” jawab Bima singkat.

Hari-hari terus berlalu berganti dengan minggu, minggu pun berganti dengan bulan, dan bulan pasti akan berganti dengan tahun. Bima telah tumbuh menjadi seorang pemuda yang tampan dan sukses dalam pekerjaannya, kini ia sedang berada di jakarta untuk menyelesaikan sedikit masalah pada bisnisnya, selain di jakarta Bima sudah mempunyai tiga cabang restaurant yang ada di sekitar jabodetabek.

Bisnisnya kian maju dan sukses dia kini menjadi pebisnis yang tangguh dan ulet dalam menghadapi persaingaan bisnis di jakarta. Tapi, itulah yang mungkin merubah sikap Bima pada ibunya, karena kesuksesannya ia menjadi sibuk dan tidak ada waktu untuk ibunya. Dalam waktu dua tahun, paling Bima hanya dapat pulang tiga kali. Itu pun setiap pulang hanya dua-tiga hari saja dia di rumah, setelah itu kembali lagi pada bisnisnya.

Sedangkan Minarsih kini telah bertambah umurnya, tubuhnya semakin renta dan sudah tidak terlalu kuat untuk bekerja keras, walaupun setiap bulan Bima selalu mengirimkan uang untuknya, dia tetap saja menjadi buruh cuci. Alasannya karena itu sudah menjadi kebiasaan dalam hidupnya, dia bekerja bukan karena uangnya.

Kerjaan ini masih dilakukannya juga karena untuk menghibur hatinya sendiri, karena di rumah sudah tak ada lagi teman yang mau menemaninya hanya sekedar untuk mengobrol. Sampai suatu hari, Bima pulang dan memberitahu ibunya bahwa ia akan segera menikah dengan seorang gadis jakarta anak seorang konglomerat.

“Bu. Bulan depan aku mau menikah,” Bima memulai pembicaraan dengan nada ketus.
“Alhamdulillah. Dengan siapa Nak, gadis mana? Kenapa kau belum mengenalkannya pada Ibumu ini Nak?”
“Dia gadis jakarta Bu, tak usahlah. Nanti kalau kami sudah menikah saja Bima ajak ke sini, lagian dia juga sibuk Bu. Kerjanya sama seperti Bima, dia juga pembisnis,” jawab Bima sekenanya. “Baiklah Nak, Ibu yakin dengan pilihanmu. Dia pasti anak yang baik, dan bisa merawat kamu dan anak-anakmu kelak,” dalam hati sebenarnya Minarsih ada perasaan sedikit kecewa dengan anaknya Bima, tapi tidak menunjukkannya, ia tak mau anaknya tahu.

Saat itu, Bima dan calon istrinya sedang membicarakan tentang pernikahan mereka berdua yang rencananya akan digelar pada sebuah gedung megah di jakarta, dengan tamu undangannya adalah kolega kerja kedua mempelai serta rekan kerja orangtua mempelai wanita. Dan hanya mengundang keluarga terdekat saja. Sedangkan Bima hanya mempunyai seorang ibu dan tak mungkin rasanya bila ibuya tak ikut hadir dalam acara pernikahannya.

“Memang Ibunya Mas kerja apa? Pengusaha kuliner juga ya Mas?” tanya calon istri Bima. Bima yang mendapat pertanyaan itu bagai disamber petir di siang bolong, ia bingung harus jawab apa. Kenyataannya Bima yang dulu telah berubah, ia kini malu mengakui ibunya yang berprofesi hanya sebagai buruh cuci.
“Emm. A-an-anu sebenarnya Ibuku itu hanya seorang buruh cuci,” jawab Bima dengan ragu.
“Hah? Apa? Kalau begitu Ibu Mas tak boleh datang dalam acara pernikahan kita, ini acara besar, yang hadir pun orang-orang yang berkelas.

Kalau memang Mas sayang sama aku, lakukan apa yang ku pinta,” setelah menyelesaikan kata-katanya, calon istri Bima pun pergi begitu saja tanpa menunggu jawaban dari Bima.
Setelah hari itu, Bima merasa bimbang antara rasa sayangnya pada ibunya dan rasa sayangnya pada calon istrinya. Berhari-hari Bima menimbang-nimbang mana yang harus dipilihnya, karena merasa ia tak sanggup menyelesaikannya ini sendiri, datanglah ia pada seorang guru spiritual. Berceritalah Bima tentang kebimbangan yang dialaminya. Dan sang guru spiritual pun menanggapi. “Coba, pulanglah. Kemudian lihat serta cucilah kedua tangan Ibumu, besok kembalilah lagi ke sini setelah kau melakukannya, dan aku akan memberikan jawabanku,” jawab sang guru.

Kemudian pulanglah Bima ke rumah dan melakukan apa yang diperintahkan sang guru tadi padanya. Betapa terkejutnya ia begitu melihat tangan ibunya yang penuh dengan luka lecet akibat seringnya mencuci. Dia juga sadar bahwa tangan lecet itulah yang merawat, mengasuh, dan membelainya di waktu kecil, karena tangan lecet itulah ia dapat tetap hidup, sekolah dan bahkan jadi seorang yang sukses seperti sekarang, berkat tangan lecet itulah usahanya makin maju karena setiap malam tangan itulah yang menengadah pada Tuhan mendoakan keberhasilannya. Keesokan harinya, dia pergi ke guru spiritualnya lagi.

“Bagaimana? Apa yang kau dapatkan?” tanya sang guru.
“Saya sadar bahwa surga kecil itu ada pada senyuman Ibu. Dan saya hampir saja melupakan surga kecil itu. Saya merasa sangat berdosa pada Ibu saya,” jawab Bima.
“Baguslah jika kau mengerti, kalau begitu pulanglah dan mintalah maaf pada Ibumu, serta basuhlah kakinya. Dan katakan yang sebenarnya pada calon istrimu,”
“Baiklah.” jawab Bima singkat.

Setelah meminta maaf dan membasuh kaki ibunya, kemudian ia menemui calon istrinya.
“Bagaimana, kau setuju kan jika Ibumu tak hadir dalam acara pernikahan kita?” tanya calon istrinya.
Bima menjawab, “Aku tidak mau mengorbankan Ibuku untuk siapa pun, aku lebih baik tak jadi menikah jika Ibuku jadi korban hanya untuk menutupi gengsi semata.” jawab Bima tegas, sambil berlalu pergi. Dan pernikahan mereka pun batal. Kini Bima membawa ibunya ke jakarta untuk ikut menemaninya.
(Banyuurip, 1 oktober 2015)

Cerpen Karangan: Ravita Rahma
Facebook: Raviita Rahmaa
Kembali dengan cerpen saya Ravita Rahma.

No comments:

Post a Comment